‘THE CURE” ( 1995 )
Film drama minimalis produksi Universal Pictures dan Islands Picturesyang dirilis April 1995 ini masih sangat menarik untuk
ditonton hingga sekarang, dimana era perfilman makin ngetrend dengan special
effect canggih dan kolosal. Film ini sangat menyentuh, menyampaikan pesan moral
yang manis tentang hubungan sesama manusia yang kadang mempunyai sisi-sisi yang
kompleks yang sulit dipahami bagi
kebanyakan orang. Bagi
sebagian penonton, film ini
bisa membuat menangis saat mengikuti dan memahami cerita hingga selesai.
“The Cure” bercerita tentang persahabatan 2 anak yang
bertetangga dekat, yang sama-sama kesepian, Dexter (Joseph Mazelo) 11 tahun, seorang
anak yang terinfeksi HIV /AIDS melalui transfusi darah saat masih bayi, dengan Erik (Brad Renfro) 13 tahun, tetangga
sebelah rumah yang merupakan pendatang baru di wilayah pemukiman itu.
Petualangan mereka dimulai ketika mereka mendapatkan informasi bahwa ada
seorang dokter yang sudah menemukan obat untuk AIDS. Dalam film ini karakter Dexter dan Erik diperankan
dengan sangat baik, bahkan memukau, namun tetap terasa natural dan tidak
berlebihan, sehingga serasa benar-benar
melihat kehidupan nyata dua anak itu.
Soundtrack musik digarap oleh Dave Gruvin, dirilis pada
tahun yang sama. Lagu “My Great Escape” yang ditulis dan dibawakan oleh Marc
Cohn, yang mengiringi perjalanan Dexter dan Erik ketika mengarungi sungai dalam
pencarian obat AIDS tidak pernah diproduksi dalam bentuk lain selain dalam film
itu.
Film garapan sutradara Peter Horton ini berhasil menyabet
penghargaan Audience Awards untuk katagori Cinekid (film anak), dan Young Star
Awards untuk penampilan Brad Renfro. Serta masuk nominasi Grammy Awards untuk
Best Instrumental Composition Written for a Motion Picture or for Television,
dan nominasi Young Artist Awards untuk Best Family Feature – Drama (Universal)
dan Best Young Leading Actor – Feature
Film (Joseph Mazzello, Bred Renfro).
CAST & CREW
Sutradara
Peter Horton
Pemain
Pemain
Bruce Davison
, Joseph
Mazzello , Diana
Scarwid , Brad
Renfro , Aeryk
Egan
Musik
Musik
David Grusin
Designer Produksi
Designer Produksi
Armin Ganz
Editor
Editor
Anthony Sherin
Cinematography
Cinematography
Andrew
Dintenfass
Skenario
Skenario
Robert Kuhn
Produser
Produser
Eric Eisner , Mark Burg
Setting
Setting
Stillwater,
Minnesota, Musim Panas 1995
Lokasi cerit
Lokasi cerit
Stillwater, Minnesota
Timeframe
Timeframe
sekitar 2
bulan
Durasi
Durasi
97 mins
Rilis
Rilis
1995
See the full movie " The Cure" :
atau baca ceritanya:
THE CURE
Erik, remaja 13 tahun ini belum lama menempati pemukiman di
sebuah kota kecil Minnesota bersama ibunya, Gail. Sebelumnya ibu dan anak ini
tinggal di wilayah utara. Ibunya seorang single parent setelah sebelumnya
bercerai dengan suaminya, yang kemudian menikah dengan wanita yang jauh lebih
muda. Karena aksen bicara Erik yang kental aksen utara, dia sering diejek
teman-temannya di sekolah yang barunya.
Walaupun mereka tinggal berdua dalam satu rumah, nampaknya
hubungan Erik dan Gail kurang begitu hangat. Komunikasi di antara mereka juga
kurang bagus. Erik yang kesepian tidak suka bergaul dengan teman-teman sebaya
di wilayah itu maupun di sekolah. Dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan
bermain games sendirian. Hal itu juga yang sering menjadi bahan celaan Gail
kepadanya, kenapa Erik tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Di sisi lain,
sebagai seorang ibu dari anak yang sedang tumbuh menjelang remaja, Gail terlalu
kasar kepadanya. Kecuali
menghardik dan menyalahkan, tidak ada hal lain yang menarik minatnya untuk
bercakap-cakap dengan putera semata wayangnya itu.
Satu hal lagi yang ditekankan – tepatnya dilarang keras –
oleh Gail kepada Erik adalah tidak perlu berhubungan dengan tetangga sebelah
rumah yang di situ ada anak kecil, Dexter, yang mengidap AIDS.
Sebenarnya Erik berusaha untuk protes atas kondisi itu,
namun tidak pernah didengar Gail.
Suatu hari Erik tengah asyik bermain-main di pekarangan
belakang rumah sendirian. Dari pekarangan sebelah rumah yang terhalang pagar
kayu yang tinggi terdengar suara batuk-batuk anak kecil. Suara itu rupanya
menarik perhatian Erik yang segera mencari tahu siapa yang ada di balik pagar
itu.
Sambil terus
bermain-main, Erik mencoba berkomunikasi dangan anak di balik pagar itu.
Lama-lama Erik penasaran dan mencoba
mengintip melalui celah pagar kayu. Di pekarangan sebelah seorang anak
kecil seumuran dia juga sedang bermain. Bocah itu memperhatikan bayangan Erik
yang sedang mencoba mencari celah terbaik untuk bisa melihatnya. Dialah Dexter,
tetangga sebelah rumah, bocah pengidap AIDS yang selama ini dijauhi
orang-orang. Sebelumnya Erik tidak pernah bergaul dengan Dexter karena larangan
keras dari ibunya.
Sejak pertemuan dibalik pagar itu mereka menjadi lebih
akrab dan sering ngobrol bersama meskipun masih dibatasi pagar kayu, sambil
masing-masing asyik dengan mainannya sendiri. Namun rupanya Erik tidak ingin
hal seperti itu berlangsung terus. Suatu ketika dia memanjat pagar dan masuk ke
pekarangan Dexter. Terkejut namun senang. Itulah ekspresi Dexter saat Erik
melompat dan berdiri di hadapannya.
Sejenak Erik terkesima memandang Dexter. Tidak ada yang
salah dengan anak ini, pikirnya. Bagi Erik, Dexter tidak Nampak seperti orang
sakit, tampak sehat, manis dan pintar.Keduanya bertatapan, untuk yang pertama kalinya sedekat ini meskipun rumah
mereka bersebelahan. Dexter lebih kecil, tampaknya lebih muda dari
dirinya.
“ Berapa umurmu?” Tanya Erik.
“ 11 tahun “, jawab Dexter.
Senang dengan kehadiran sahabat barunya itu, Dexter mengajak
Erik ikut bermain dengan berbagai mainan miliknya. Keakraban pun segera terjalin
di antara mereka. Sekali lagi, ternyata Dexter adalah seorang anak yang asyik
untuk menjadi teman, sama sekali tidak terkesan seperti orang yang lemah karena
penyakitan. Dia lincah, lucu, ceria dan pintar.
Itulah awal dari
pertemuan langsung mereka. Hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari yang
menyenangkan bagi mereka berdua. Mereka selalu bermain bersama. Dalam banyak
hal, Erik lebih senang berperan seperti seorang kakak yang melindungi dan
menyayangi Dexter. Karenanya dia selalu senang menjadi orang yang repot demi
menyenangkan Dexter. Misalnya ketika bermain perahu dengan ban mobil, Erik
selalu yang mengayuh dengan dayung. Begitu juga saat pulang dari supermarket
dengan troli belanja, Erik yang mendorong sedangkan Dexter naik di atasnya.
Persis seperti kakak dan adiknya. Sepertinya dia tidak ingin terjadi kenapa
kenapa pada Dexter.
Semakin lama
Erik juga semakin dekat dengan mamanya Dexter, Linda. Bahkan dia merasa lebih
dekat dan nyaman saat dengan Linda dibanding dengan ibunya sendiri yang suka
main pukul. Linda sosok yang keibuan, lembut dan perhatian kepada anaknya.
Linda senang mengajak Erik serta saat makan malam tiba.
Suatu ketika
Linda mengajak Erik dan Dexter ke supermarket untuk belanja. Dexter pun nampak
senang sekali dengan momen itu. Di supermarket itu, Linda sempat mencium Erik
sebagai ungkapan sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Tentu saja Erik
kaget dan sejenak diam membisu, karena selama ini dia tidak pernah menerima
ciuman sayang seperti itu dari ibunya sendiri.
Dalam beberapa
kesempatan, sebenarnya Gail
sudah mengingatkan agar Erik menjauhi Dexter, si anak yang kena AIDS, virus
yang tidak ada obatnya. Namun bagi Erik, larangan ibunya itu seperti angin lalu.
Hari berikutnya dia sudah kembali bermain-main bersama Dexter lagi.
Terinspirasi
oleh film tv “ Medicine Man” yang mereka tonton di rumah Dexter, Erik mengajak
Dexter untuk mencoba mencari obat dari tanaman. Berbagai daun dan bunga-bungaan
yang menurut mereka bisa untuk pengobatan mereka kumpulkan, kemudian dicatat,
direbus dan Dexter harus meminumnya.
“SEORANG DOKTER
DI NEW ORLEANS MENEMUKAN OBAT UNTUK AIDS”.
Begitulah bunyi headline sebuah
tabloit yang ditemukan Dexter di sebuah supermarket. Berita itu tentu saja
mengejutkan sekaligus merupakan kabar gembira bagi Dexter dan Erik. Mereka mencoba memberitahukan
kabar itu kepada Linda. Namun sepertinya Linda tidak yakin dengan berita di
tabloit itu.
Berbagai tanaman
yang mereka ramu dan diminum Dexter belum menunjukkan khasiat yang diharapkan.
Namun mereka terus mencari daun-daun yang lainnya. Kegiatan mencari daun-daun
obat itu rupanya juga menjadi acara yang menyenangkan untuk mereka berdua bisa
bermain bersama.
Agaknya karena
terlalu inginnya melihat Dexter bisa terbebas dari virus mematikan itu, Erik
menjadi kurang terkontrol saat mencari tanaman obat. Dan akibatnya justeru
buruk. Suatu malam Dexter justeru keracunan oleh minuman herbal yang
diberikan Erik dan harus dibawa ke
rumah sakit.
Akibat kejadian
itu, Gail marah besar kepada Erik yang tidak mengindahkan kata-katanya. Dia
pukuli dan caci maki Erik malam itu juga. Yang lebih fatal, dia menelepon bekas
suaminya dan meminta agar Erik tinggal bersamanya segera. Bagi dia, menjauhkan
Erik dari tempat itu adalah langkah terbaik.
Mendengar
rencana ibunya itu, Erik galau bukan kepalang. Kenapa ibunya justeru
tidak pernah mengerti dia? Dia tidak
ingin pindah kemana-mana. Dia coba menelepon ayahnya, namun tidak bisa
dihubungi. Akhirnya, malam itu juga dia menemui Dexter. Dia yakinkan Dexter
untuk mau pergi bersamanya ke New Orleans untuk mencari dokter yang menemukan
obat AIDS itu. Rupanya, selain untuk bisa mendapatkan obat AIDS bagi Dexter,
rencana itu juga untuk dia bisa melarikan diri dari rencana Gail yang ingin
membawa pergi jauh ke ayahnya, hal yang sama sekali dia tidak maui. Karena itu,
begitu Dexter setuju pergi, mereka segera menyiapkan segala sesuatunya untuk
malam itu juga mereka berangkat. Tidak lupa Dexter meninggalkan surat pamit
kepada ibunya.
"Dear Mom, I've
gone with Erik, but I've brought along my medicine so there's no reason to
worry. We plan to be careful and
sensible. Whatever you do, make sure you remember to tape Star Wars, 8 PM,
channel 5. I love you very much. Sincerely, Dexter."
Dia taruh surat itu di atas meja kamarnya.
Dengan
menggunakan rakit kayu dan ban-ban mobil, Erik dan Dexter memulai perjalanan
menuju New Orleans melalui sungai kecil dekat rumah mereka, yang kemudian masuk
ke sungai Missisipi, sebuah sungai yang pada bagian hilir membelah kota New
Orleans. Ditemani bintang-bintang yang bertaburan, mereka melakukan pelayaran
mengikuti arus sungai yang mengalir. Seakan menemukan kebebasan yang belum
pernah mereka rasakan sebelumnya, mereka menikmati perjalanan itu untuk
melupakan kegalauan yang sempat melanda perasaan mereka.
Di suatu pelabuhan
kecil, mereka lanjutkan perjalanan dengan menyewa perahu kecil. Dengan perahu
yang diawaki dua pria muda itu mereka meneruskan perjalanan menuju New
Orleans.Karena memang tidak mungkin mereka terus menggunakan rakit hingga
sampai New Orleans.
Sesungguhnya
jarak New Orleans dengan kota mereka, Minnesota, sekitar 1.200 mil. Jarak yang
sangat jauh, apalagi bagi anak 11
tahun seperti mereka. Karena itu dalam
perjalanan itu sempat harus berhenti saat malam tiba untuk bermalam. Kesempatan
itu digunakan Erik dan Dexter untuk turun ke darat dan mendirikan tenda di
peinggir sungai.
Layaknya dua
petualang, mereka membuat api unggun di dekat tenda untuk menghangatkan badan. Sementara
perahu kecil dan awaknya menunggu di perairan tidak jauh dari mereka.
Agaknya kondisi
kesehatan Dexter mengalami penurunan. Karena itu dia lebih banyak diam saat
Erik melakukan berbagai aktifitas. Dan saat tengah malam, Erik terbangun karena
mendengar Dexter merintih-rintih seperti ketakutan. Dia bangunkan Dexter yang
rupanya tengah mengalami mimpi buruk. Baju dan sleeping bag nya basah kuyup
karena keringat dingin akibat mimpi buruk itu. Melihat itu, Erik segera membuka
bajunya sendiri dan menyuruh Dexter memakainya. Dia suruh Dexter pindah ke
sleeping bag dia yang kering. Erik sendiri memilih tidak memakai baju dan tidur
di luar sleeping bag Dexter. Di situlah kemudian Dexter menceritakan tentang
mimpi-mimpi buruk yang sering dia alami. Erik tampak ikut sedih mendengarnya.
Kemudian dia ambil sepatu yang biasa dia pakai. Dia suruh Dexter memegang
sepatu itu saat tidur, sehingga jika mimpi buruk lagi bisa membantu
menenangkannya.
"If you wake up and scared, you say wait a minute. I’m holding Erik’s shoe, Why the hell would I be holding some smelly basketball shoe? I must be on earth. and Erik must be close by. " |
“Boleh dicoba,”
kata Dexter sambil mengambil sepatu Erik dan memeluknya ke dalam sleeping bag.
Esok paginya
kondisi Dexter masih belum membaik. Obat-obatan yang biasa dia minum tinggal
untuk yang terakhir. Dari pinggir sungai Erik meneriaki awak perahu untuk
segera berangkat lagi. Namun rupanya mereka masih malas-malasan. Hal itu
membuat Erik marah, mengingat kondisi Dexter yang mengkhawatirkan. Akhirnya dia
ambil tindakan nekat. Dengan berenang ke perahu yang awaknya masih tertidur
karena habis mabuk semalam, dia mengambil beberapa uang dolar milik mereka yang sehari sebelumnya
sempat dia temukan tanpa sengaja terselip dalam suatu majalah di lemari.
Dengan bekal
uang curian itu, mereka meninggalkan kapal dan melanjutkan perjalanan dengan
jalan kaki. Tujuan mereka kali ini adalah untuk mencari angkutan umum yang bisa
membawa mereka New Orleans. Kondisi Dexter yang makin payah membuat Erik
mengalah membawa semua barang bawaan dan dia biarkan Dexter tanpa beban apa-apa.
Dan dengan menumpang mobil barang mereka menuju sebuah agen perjalanan untuk
membeli tiket.
Malangnya, pada
saat hendak membeli tiket mereka bertemu dengan awak perahu yang rupanya
menyadari uangnya hilang. Mereka yakin Erik dan Dexter yang mencuri uang itu.
Karena itu mereka mengejar dua anak itu dan secara kebetulan bertemu di agen
bus.
Erik segera mengajak lari Dexter, meskipun sebenarnya
kondisi Dexter yang memburuk sangat tidak berdaya untuk lari cepat. Hal itulah
yang membuat mereka akhirnya terkejar. Dalam kondisi terpojok karena tidak ada lagi jalan melarikan diri, Erik
mengelurakan pisau lipat kecil untuk mengancam pemuda itu. Mendapat ancaman
dari anak kecil macam itu tentulah bukan hal yang menakutkan bagi
pemuda itu. Kemudian dari
balik bajunya dia juga mengelurakan
pisau, yang justeru lebih besar dari yang dipegang Erik. Dengan
tenaganya yang kuat dia main-mainkan pisau itu semakin dekat ke wajah Erik. Kondisinya bener-bener tidak menguntungkan
bagi Erik, dan Dexter yang berdiri di belakang Erik.
Tiba-tiba Dexter
yang berdiri di belakang Erik bergerak maju merebut
pisau di tangan Erik. Hal yang sama sekali tidak terduga oleh Erik. Baik Erik maupun pemuda itu sama-sama
kaget dengan aksi Dexter itu. Bagi Erik, ini
adalah hal gila yang dilakukan Dexter yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Selama ini dia selalu memegang peran melindungi Dexter dalam hal apapun, dan
Dexter adalah anak yang penurut. Namun kini Dexter justru menempatkan diri pada
posisi yang sangat membahayakan jiwanya. Sia-sia usaha Erik untuk mencegah
Dexter. Tangan kecilnya kokoh menggenggam gagang pisau lipat, dia todongkan ke
pemuda yang jauh lebih tinggi di hadapannya itu.
Keadaan benar-benar menegangkan. Bagi pemuda kapal itu,
meskipun kalau dia mau bisa dengan mudah membekuk Dexter, bukanlah hal
menyenangkan berkonfrontasi fisik dengan anak kecil seperti Dexter. Untunglah,
meskipun dia membawa pisau di tangannya, dia tidak lepas kendali dan masih bisa
menahan diri untuk menunggu apa yang akan dilakukan Dexter berikutnya.
Sebelum semua menyadari apa yang mesti dilakukan, dengan
tatapan tajam Dexter mengancam bahwa jika berani melukai dia, maka pemuda itu
akan mengalami kematian.
“Dia terkena AIDS!” teriak Erik dari belakang dexter,
seakan menjelaskan maksud kata-kata Dexter yang belum dimengerti pemuda kapal
itu.
Seakan tak percaya begitu saja, pemuda itu memandangi
Dexter lagi untuk memastikan bahwa itu hanya akal-akalan untuk menakutinya.
Tidak mau berlama-lama dan dianggap berbohong, serta merta
Dexter menyayatkan pisau kecilnya ke telapak tangan kiri yang segera
mengeluarkan darah segar. Erik seakan tercekat melihat kenekatan Dexter tanpa
bisa mencegahnya.
“Darah ini akan menularkan virus ke dalam tubuhmu!” kata
Dexter gemetaran sambil mendekatkan telapak tangannya yang berdarah ke tubuh
pemuda kapal.
Pemuda kapal itu sedikit banyak tahu apa itu AIDS dan
bagaimana penularan bisa terjadi. Karena itu dia tidak mau gegabah mengambil
resiko. Tak seorang pun mau terjangkiti virus itu, meskipun demi uang sebanyak
apa pun. Sepertinya benar apa yang dikatakan anak ini, pikirnya. Semakin ngeri
ketika dia menyadari banyak luka goresan berdarah di tangannya akibat kawat
berduri saat mengejar dua anak itu tadi. Satu tetes saja darah orang yang kena
AIDS mengenai luka itu, segera virusnya akan menular dan menyebar ke tubuhnya
tanpa bisa dikeluarkan lagi. Pucat pasilah dia membayangkan resiko yang dia
hadapi.
Tak mau ambil resiko yang paling mengerikan, pemuda kapal
dan temannya memilih kabur meninggalkan Erik dan Dexter. Terbawa emosi dan
ketegangan saat itu, Dexter dan Erik mengejar mereka seakan ingin mengusir mereka sejauh-jauhnya.
Erik merasa lega kedua orang itu kabur dengan ketakutan.
Namun bukan berarti ancaman telah selesai. Dexter yang terluka oleh sayatannya
sendiri tiba-tiba terduduk lunglai. Kondisinya semakin memburuk. Erik yang
hendak mendekat menolongnya dia larang karena takut darah yang masih mengalir
dari tangannya bisa mengenai Erik. Akhirnya Erik melepas baju dan dia lempar ke
Dexter untuk menghentikan pendarahan.
Sambil bersandar pada tas dan barang bawaan lainnya di atas
bangku ruang tunggu agen bus, Dexter mencoba untuk bertahan dengan
penderitaannya. Erik sungguh merasa iba dan sedih melihat Dexter yang tampak
semakin menderita. Bagi seorang penderita AIDS, luka atau jenis sakit lain
sekalipun kecil bisa berakibat fatal. Sesekali dia raba dahi Dexter untuk
memastikan suhu badannya.
Melihat kondisi Dexter yang semakin menderita, akhirnya
Erik berubah pikiran. Dia memutuskan untuk kembali ke Minnesota dan menghubungi
Linda, tanpa sepengetahuan Dexter.
Sepanjang perjalanan bus yang membawa mereka, Erik
membiarkan Dexter yang lemah bersandar dan tertidur di bahunya. Dia sendiri
tidak bisa tidur. Perasaannya campur aduk antara sedih, kawatir, dan takut atas
kemungkinan lebih buruk yang akan dialam Dexter. Dia tatap sahabatnya, dia raba
dahinya…untuk memastikan kondisinya tidak lebih buruk lagi.
Linda sudah menunggu di agen bus yang membawa mereka saat
bus itu tiba. Hari sudah larut malam. Dexter yang masih tertidur perlahan
dibangunkan oleh Erik. Dia mengira mereka sudah tiba di New Orleans. Dan saat
turun dari bus ibunya sudah menunggu dan memeluknya, dia tidak bisa lagi menahan
tangis. Dia tumpahkan deritanya dalam dekapan sang ibu.
****
Dexter menjalani
perawatan intensif di rumah sakit kota. Setiap hari Erik menemaninya, menghibur
dan mengajak bercanda. Sesekali dia juga membawakan makanan atau mainan kesukaan
Dexer. Beberapa kali mereka sempat mengerjain dokter dan perawat rumah sakit
itu. Dexter pura-pura mati, dan Erik menangis mendatangi dokter. Tentu saja
dokter segera mengeceknya. Pada saat itulah Dexter bangun sambil berteriak
keras-keras. Bisa ditebak apa yang terjadi pada dokter dan perawat itu.
Suatu ketika, seorang dokter yang memeriksa Dexter, namanya
Dr. Jensen, menyampaikan dengan lembut bahwa dia percaya adanya keajaiban. Dan itu
bisa saja terjadi pada siapa saja yang mempercayainya. Dexter mengangguk
mengerti.
Berbagai cara Erik lakukan untuk bisa membuat Dexter
senang. Tidak peduli ketika hujan deras dan dingin dia nekat kembali memanjat
pagar kebun belakang, seperti saat pertama bertemu Dexter. Dia bermaksud
mengambil mainan-mainan Dexter yang banyak tertinggal di kebun. Namun rupanya
semua mainan itu sudah berantakan dan kotor tercampur lumpur karena hujan
deras.
Hari berikutnya, saat Dexter tampak semakin lemah, Erik
bermaksud mengerjain dokter lagi seperti biasanya. Dexter hanya mengangguk
pelan ketika Erik minta persetujuannya. Kali ini seorang dokter senior yang
menjadi sasaran Erik. Kepada dokter itu Erik menangis karena temannya meninggal
duni. Segera dokter itu mengecek Dexter yang terbaring diam di atas tempat
tidur.
Erik menunggu di luar jendela dan melihat apa yang akan
terjadi. Setelah dokter itu mengecek dan Dexter ternyata tidak kunjung bangun,
barulah Erik menyadari apa yang telah terjadi. Dexter benar-benar sudah tiada…
Dalam perjalanan pulang Erik bersama Linda dari rumah
sakit, Linda sempat menumpahkan kesedihannya dan menangis di dalam mobil.
Melihat kesedihan seseorang yang sudah seperti ibunya sendiri itu, Erik pun
menyampaikan permintaan maafnya.
“Aku minta maaf. Aku sudah berusaha keras…” kata Erik
terbata-bata.
“Berusaha apa?” Tanya Linda.
“Untuk mendapatkan obatnya…” jawab Erik.
Seketika Linda memeluk remaja itu. Sambil mendekap Erik,
dia katakana bahwa kamu adalah hal yang paling membuatnya bahagia pada saat-saat
paling sulit dalam hidup Dexter.
Tiba di halaman rumah Linda, Gail marah-marah dan kembali
memukuli Erik. Dia benar-benar geram, apalagi mendapati Erik ikut dalam mobil
Linda. Linda pun tidak tinggal diam. Dia minta waktu untuk bisa bicara berdua
dengan Gail di dalam rumah.
Di ruangan dalam rumah, Linda sambil menangis mendorong
Gail hingga ke tembok. Dia katakana soal kematian teman terbaik Erik. Dan dia
ancam Gail, jika ibu itu kembali memukuli Erik dia akan bunuh Gail! Perempuan
itu hanya bisa menatap nanar ke arah Linda.
***************
Erik memandangi wajah Dexter yang terbaring tenang di dalam
peti mati. Dengan stelan jas hitam lengkap dengan sepatu hitam seolah bocah itu
sedang tidur nyenyak. Wajahnya begitu damai, seakan sudah merasakan kedamaian
sesungguhnya dan terbebas dari beban hidup di dunia.
Sebuah sepatu miliknya, hanya sebelah, dia taruh dalam
dekapan tangan Dexter. Sepatu yang sama yang dia berikan ketika Dexter mengalami
mimpi buruk suatu malam di tenda tepi sungai. Di antara kesedihan atas
kepergian sahabat terbaiknya, dia merasa bersyukur bahwa dia telah melakukan
hal terbaik yang dia bisa meskipun hasil akhir bukan seperti yang dia harapkan.
Di tepi sungai kecil, sungai yang sama yang sering dilalui
bersama Dexter, sungai yang menjadi saksi keabadian persahabatan mereka, Erik
melarung sebuah sepatu hitam kecil milik Dexter, dengan harapan kedamaian
mengikuti perjalanan Dexter kembali ke Sang Pencipta. Dia pandangi sepatu itu,
mengikuti aliran air sungai yang mengalir, seakan dia melihat kepergian teman
terbaiknya itu. Selamat jalan sahabatku…
(diceritakan kembali oleh : alden praptono )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar