Senin, 22 April 2013

Angel's Movie " THE CURE " Perjalanan untuk seorang sahabat yang menderita AIDS

" Dalam masa-masa sulit dalam hidupnya, kamulah hal yang paling membuatnya bahagia..."





‘THE CURE”  ( 1995 )

Film drama minimalis produksi Universal Pictures dan Islands Picturesyang dirilis  April 1995 ini masih sangat menarik untuk ditonton hingga sekarang, dimana era perfilman makin ngetrend dengan special effect canggih dan kolosal. Film ini sangat menyentuh, menyampaikan pesan moral yang manis tentang hubungan sesama manusia yang kadang mempunyai sisi-sisi yang kompleks yang sulit dipahami bagi kebanyakan orang. Bagi sebagian penonton, film ini bisa membuat menangis saat mengikuti dan memahami cerita hingga selesai.

“The Cure” bercerita tentang persahabatan 2 anak yang bertetangga dekat, yang sama-sama kesepian, Dexter (Joseph Mazelo) 11 tahun, seorang anak yang terinfeksi HIV /AIDS melalui transfusi darah saat masih bayi, dengan Erik (Brad Renfro) 13 tahun, tetangga sebelah rumah yang merupakan pendatang baru di wilayah pemukiman itu. Petualangan mereka dimulai ketika mereka mendapatkan informasi bahwa ada seorang dokter yang sudah menemukan obat untuk AIDS. Dalam film ini karakter Dexter dan Erik diperankan dengan sangat baik, bahkan memukau, namun tetap terasa natural dan tidak berlebihan, sehingga serasa benar-benar melihat kehidupan nyata dua anak itu.

Soundtrack musik digarap oleh Dave Gruvin, dirilis pada tahun yang sama. Lagu “My Great Escape” yang ditulis dan dibawakan oleh Marc Cohn, yang mengiringi perjalanan Dexter dan Erik ketika mengarungi sungai dalam pencarian obat AIDS tidak pernah diproduksi dalam bentuk lain selain dalam film itu.

Film garapan sutradara Peter Horton ini berhasil menyabet penghargaan Audience Awards untuk katagori Cinekid (film anak), dan Young Star Awards untuk penampilan Brad Renfro. Serta masuk nominasi Grammy Awards untuk Best Instrumental Composition Written for a Motion Picture or for Television, dan nominasi Young Artist Awards untuk Best Family Feature – Drama (Universal) dan Best Young Leading  Actor – Feature Film (Joseph Mazzello, Bred Renfro). 



CAST & CREW
Sutradara
Peter Horton
Pemain
Bruce Davison , Joseph Mazzello , Diana Scarwid , Brad Renfro , Aeryk Egan
Musik
David Grusin
Designer Produksi
Armin Ganz
Editor
Anthony Sherin
Cinematography
Andrew Dintenfass
Skenario
Robert Kuhn
Produser
Eric Eisner , Mark Burg
Setting
Stillwater, Minnesota, Musim Panas 1995
Lokasi cerit
Stillwater, Minnesota
Timeframe
sekitar 2 bulan
Durasi
97 mins
Rilis
1995

 See the full movie " The Cure" :




atau baca ceritanya: 

 

THE CURE


Erik, remaja 13 tahun ini belum lama menempati pemukiman di sebuah kota kecil Minnesota bersama ibunya, Gail. Sebelumnya ibu dan anak ini tinggal di wilayah utara. Ibunya seorang single parent setelah sebelumnya bercerai dengan suaminya, yang kemudian menikah dengan wanita yang jauh lebih muda. Karena aksen bicara Erik yang kental aksen utara, dia sering diejek teman-temannya di sekolah yang barunya.


Walaupun mereka tinggal berdua dalam satu rumah, nampaknya hubungan Erik dan Gail kurang begitu hangat. Komunikasi di antara mereka juga kurang bagus. Erik yang kesepian tidak suka bergaul dengan teman-teman sebaya di wilayah itu maupun di sekolah. Dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan bermain games sendirian. Hal itu juga yang sering menjadi bahan celaan Gail kepadanya, kenapa Erik tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Di sisi lain, sebagai seorang ibu dari anak yang sedang tumbuh menjelang remaja, Gail terlalu kasar kepadanya. Kecuali menghardik dan menyalahkan, tidak ada hal lain yang menarik minatnya untuk bercakap-cakap dengan putera semata wayangnya itu.


Satu hal lagi yang ditekankan – tepatnya dilarang keras – oleh Gail kepada Erik adalah tidak perlu berhubungan dengan tetangga sebelah rumah yang di situ ada anak kecil, Dexter, yang mengidap AIDS.


Sebenarnya Erik berusaha untuk protes atas kondisi itu, namun tidak pernah didengar Gail.

Suatu hari Erik tengah asyik bermain-main di pekarangan belakang rumah sendirian. Dari pekarangan sebelah rumah yang terhalang pagar kayu yang tinggi terdengar suara batuk-batuk anak kecil. Suara itu rupanya menarik perhatian Erik yang segera mencari tahu siapa yang ada di balik pagar itu.



Sambil terus bermain-main, Erik mencoba berkomunikasi dangan anak di balik pagar itu. Lama-lama Erik penasaran dan mencoba mengintip melalui celah pagar kayu. Di pekarangan sebelah seorang anak kecil seumuran dia juga sedang bermain. Bocah itu memperhatikan bayangan Erik yang sedang mencoba mencari celah terbaik untuk bisa melihatnya. Dialah Dexter, tetangga sebelah rumah, bocah pengidap AIDS yang selama ini dijauhi orang-orang. Sebelumnya Erik tidak pernah bergaul dengan Dexter karena larangan keras dari ibunya.


Sejak pertemuan dibalik pagar itu mereka menjadi lebih akrab dan sering ngobrol bersama meskipun masih dibatasi pagar kayu, sambil masing-masing asyik dengan mainannya sendiri. Namun rupanya Erik tidak ingin hal seperti itu berlangsung terus. Suatu ketika dia memanjat pagar dan masuk ke pekarangan Dexter. Terkejut namun senang. Itulah ekspresi Dexter saat Erik melompat dan berdiri di hadapannya.



Sejenak Erik terkesima memandang Dexter. Tidak ada yang salah dengan anak ini, pikirnya. Bagi Erik, Dexter tidak Nampak seperti orang sakit, tampak sehat, manis dan pintar.Keduanya bertatapan, untuk yang pertama kalinya sedekat ini meskipun rumah mereka bersebelahan. Dexter lebih kecil, tampaknya lebih muda dari dirinya.


“ Berapa umurmu?” Tanya Erik.

“ 11 tahun “, jawab Dexter.


Senang dengan kehadiran sahabat barunya itu, Dexter mengajak Erik ikut bermain dengan berbagai mainan miliknya. Keakraban pun segera terjalin di antara mereka. Sekali lagi, ternyata Dexter adalah seorang anak yang asyik untuk menjadi teman, sama sekali tidak terkesan seperti orang yang lemah karena penyakitan. Dia lincah, lucu, ceria dan pintar.

 

Itulah awal dari pertemuan langsung mereka. Hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari yang menyenangkan bagi mereka berdua. Mereka selalu bermain bersama. Dalam banyak hal, Erik lebih senang berperan seperti seorang kakak yang melindungi dan menyayangi Dexter. Karenanya dia selalu senang menjadi orang yang repot demi menyenangkan Dexter. Misalnya ketika bermain perahu dengan ban mobil, Erik selalu yang mengayuh dengan dayung. Begitu juga saat pulang dari supermarket dengan troli belanja, Erik yang mendorong sedangkan Dexter naik di atasnya. Persis seperti kakak dan adiknya. Sepertinya dia tidak ingin terjadi kenapa kenapa pada Dexter.


Semakin lama Erik juga semakin dekat dengan mamanya Dexter, Linda. Bahkan dia merasa lebih dekat dan nyaman saat dengan Linda dibanding dengan ibunya sendiri yang suka main pukul. Linda sosok yang keibuan, lembut dan perhatian kepada anaknya. Linda senang mengajak Erik serta saat makan malam tiba.


Suatu ketika Linda mengajak Erik dan Dexter ke supermarket untuk belanja. Dexter pun nampak senang sekali dengan momen itu. Di supermarket itu, Linda sempat mencium Erik sebagai ungkapan sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Tentu saja Erik kaget dan sejenak diam membisu, karena selama ini dia tidak pernah menerima ciuman sayang seperti itu dari ibunya sendiri.


Dalam beberapa kesempatan, sebenarnya Gail sudah mengingatkan agar Erik menjauhi Dexter, si anak yang kena AIDS, virus yang tidak ada obatnya. Namun bagi Erik, larangan ibunya itu seperti angin lalu. Hari berikutnya dia sudah kembali bermain-main bersama Dexter lagi.


Terinspirasi oleh film tv “ Medicine Man” yang mereka tonton di rumah Dexter, Erik mengajak Dexter untuk mencoba mencari obat dari tanaman. Berbagai daun dan bunga-bungaan yang menurut mereka bisa untuk pengobatan mereka kumpulkan, kemudian dicatat, direbus dan Dexter harus meminumnya.


“SEORANG DOKTER DI NEW ORLEANS MENEMUKAN OBAT UNTUK AIDS”. 
Begitulah bunyi headline sebuah tabloit yang ditemukan Dexter di sebuah supermarket. Berita itu tentu saja mengejutkan sekaligus merupakan kabar gembira bagi Dexter dan Erik. Mereka mencoba memberitahukan kabar itu kepada Linda. Namun sepertinya Linda tidak yakin dengan berita di tabloit itu.


Berbagai tanaman yang mereka ramu dan diminum Dexter belum menunjukkan khasiat yang diharapkan. Namun mereka terus mencari daun-daun yang lainnya. Kegiatan mencari daun-daun obat itu rupanya juga menjadi acara yang menyenangkan untuk mereka berdua bisa bermain bersama.


Agaknya karena terlalu inginnya melihat Dexter bisa terbebas dari virus mematikan itu, Erik menjadi kurang terkontrol saat mencari tanaman obat. Dan akibatnya justeru buruk. Suatu malam Dexter justeru keracunan oleh minuman herbal yang diberikan Erik dan harus dibawa ke rumah sakit.


Akibat kejadian itu, Gail marah besar kepada Erik yang tidak mengindahkan kata-katanya. Dia pukuli dan caci maki Erik malam itu juga. Yang lebih fatal, dia menelepon bekas suaminya dan meminta agar Erik tinggal bersamanya segera. Bagi dia, menjauhkan Erik dari tempat itu adalah langkah terbaik.


Mendengar rencana ibunya itu, Erik galau bukan kepalang. Kenapa ibunya justeru tidak pernah mengerti dia? Dia tidak ingin pindah kemana-mana. Dia coba menelepon ayahnya, namun tidak bisa dihubungi. Akhirnya, malam itu juga dia menemui Dexter. Dia yakinkan Dexter untuk mau pergi bersamanya ke New Orleans untuk mencari dokter yang menemukan obat AIDS itu. Rupanya, selain untuk bisa mendapatkan obat AIDS bagi Dexter, rencana itu juga untuk dia bisa melarikan diri dari rencana Gail yang ingin membawa pergi jauh ke ayahnya, hal yang sama sekali dia tidak maui. Karena itu, begitu Dexter setuju pergi, mereka segera menyiapkan segala sesuatunya untuk malam itu juga mereka berangkat. Tidak lupa Dexter meninggalkan surat pamit kepada ibunya. 


"Dear Mom, I've gone with Erik, but I've brought along my medicine so there's no reason to worry. We plan to be careful  and sensible. Whatever you do, make sure you remember to tape Star Wars, 8 PM, channel 5. I love you very much. Sincerely, Dexter."


Dia taruh surat itu di atas meja kamarnya.


Dengan menggunakan rakit kayu dan ban-ban mobil, Erik dan Dexter memulai perjalanan menuju New Orleans melalui sungai kecil dekat rumah mereka, yang kemudian masuk ke sungai Missisipi, sebuah sungai yang pada bagian hilir membelah kota New Orleans. Ditemani bintang-bintang yang bertaburan, mereka melakukan pelayaran mengikuti arus sungai yang mengalir. Seakan menemukan kebebasan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, mereka menikmati perjalanan itu untuk melupakan kegalauan yang sempat melanda perasaan mereka.

Di suatu pelabuhan kecil, mereka lanjutkan perjalanan dengan menyewa perahu kecil. Dengan perahu yang diawaki dua pria muda itu mereka meneruskan perjalanan menuju New Orleans.Karena memang tidak mungkin mereka terus menggunakan rakit hingga sampai New Orleans.


Sesungguhnya jarak New Orleans dengan kota mereka, Minnesota, sekitar 1.200 mil. Jarak yang sangat jauh, apalagi bagi anak 11 
tahun seperti mereka. Karena itu dalam perjalanan itu sempat harus berhenti saat malam tiba untuk bermalam. Kesempatan itu digunakan Erik dan Dexter untuk turun ke darat dan mendirikan tenda di peinggir sungai.


Layaknya dua petualang, mereka membuat api unggun di dekat tenda untuk menghangatkan badan. Sementara perahu kecil dan awaknya menunggu di perairan tidak jauh dari mereka.

Agaknya kondisi kesehatan Dexter mengalami penurunan. Karena itu dia lebih banyak diam saat Erik melakukan berbagai aktifitas. Dan saat tengah malam, Erik terbangun karena mendengar Dexter merintih-rintih seperti ketakutan. Dia bangunkan Dexter yang rupanya tengah mengalami mimpi buruk. Baju dan sleeping bag nya basah kuyup karena keringat dingin akibat mimpi buruk itu. Melihat itu, Erik segera membuka bajunya sendiri dan menyuruh Dexter memakainya. Dia suruh Dexter pindah ke sleeping bag dia yang kering. Erik sendiri memilih tidak memakai baju dan tidur di luar sleeping bag Dexter. Di situlah kemudian Dexter menceritakan tentang mimpi-mimpi buruk yang sering dia alami. Erik tampak ikut sedih mendengarnya. Kemudian dia ambil sepatu yang biasa dia pakai. Dia suruh Dexter memegang sepatu itu saat tidur, sehingga jika mimpi buruk lagi bisa membantu menenangkannya.

"If you wake up and scared, you say wait a minute. I’m holding Erik’s shoe, Why the hell would I be holding some smelly basketball shoe? I must be on earth. and Erik must be close by. "

“Boleh dicoba,” kata Dexter sambil mengambil sepatu Erik dan memeluknya ke dalam sleeping bag.


Esok paginya kondisi Dexter masih belum membaik. Obat-obatan yang biasa dia minum tinggal untuk yang terakhir. Dari pinggir sungai Erik meneriaki awak perahu untuk segera berangkat lagi. Namun rupanya mereka masih malas-malasan. Hal itu membuat Erik marah, mengingat kondisi Dexter yang mengkhawatirkan. Akhirnya dia ambil tindakan nekat. Dengan berenang ke perahu yang awaknya masih tertidur karena habis mabuk semalam, dia mengambil beberapa uang  dolar milik mereka yang sehari sebelumnya sempat dia temukan tanpa sengaja terselip dalam suatu majalah di lemari.


Dengan bekal uang curian itu, mereka meninggalkan kapal dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Tujuan mereka kali ini adalah untuk mencari angkutan umum yang bisa membawa mereka New Orleans. Kondisi Dexter yang makin payah membuat Erik mengalah membawa semua barang bawaan dan dia biarkan Dexter tanpa beban apa-apa. Dan dengan menumpang mobil barang mereka menuju sebuah agen perjalanan untuk membeli tiket.


Malangnya, pada saat hendak membeli tiket mereka bertemu dengan awak perahu yang rupanya menyadari uangnya hilang. Mereka yakin Erik dan Dexter yang mencuri uang itu. Karena itu mereka mengejar dua anak itu dan secara kebetulan bertemu di agen bus.

Erik segera mengajak lari Dexter, meskipun sebenarnya kondisi Dexter yang memburuk sangat tidak berdaya untuk lari cepat. Hal itulah yang membuat mereka akhirnya terkejar. Dalam kondisi terpojok karena tidak ada lagi jalan melarikan diri, Erik mengelurakan pisau lipat kecil untuk mengancam pemuda itu. Mendapat ancaman dari anak kecil macam itu tentulah bukan hal yang menakutkan bagi pemuda itu. Kemudian dari balik bajunya dia juga mengelurakan pisau, yang justeru lebih besar dari yang dipegang Erik. Dengan tenaganya yang kuat dia main-mainkan pisau itu semakin dekat ke wajah Erik. Kondisinya bener-bener tidak menguntungkan bagi Erik, dan Dexter yang berdiri di belakang Erik.


Tiba-tiba Dexter yang berdiri di belakang Erik bergerak maju merebut pisau di tangan Erik. Hal yang sama sekali tidak terduga oleh Erik. Baik Erik maupun pemuda itu sama-sama kaget dengan aksi Dexter itu. Bagi Erik, ini adalah hal gila yang dilakukan Dexter yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Selama ini dia selalu memegang peran melindungi Dexter dalam hal apapun, dan Dexter adalah anak yang penurut. Namun kini Dexter justru menempatkan diri pada posisi yang sangat membahayakan jiwanya. Sia-sia usaha Erik untuk mencegah Dexter. Tangan kecilnya kokoh menggenggam gagang pisau lipat, dia todongkan ke pemuda yang jauh lebih tinggi di hadapannya itu.


Keadaan benar-benar menegangkan. Bagi pemuda kapal itu, meskipun kalau dia mau bisa dengan mudah membekuk Dexter, bukanlah hal menyenangkan berkonfrontasi fisik dengan anak kecil seperti Dexter. Untunglah, meskipun dia membawa pisau di tangannya, dia tidak lepas kendali dan masih bisa menahan diri untuk menunggu apa yang akan dilakukan Dexter berikutnya.


Sebelum semua menyadari apa yang mesti dilakukan, dengan tatapan tajam Dexter mengancam bahwa jika berani melukai dia, maka pemuda itu akan mengalami kematian.

“Dia terkena AIDS!” teriak Erik dari belakang dexter, seakan menjelaskan maksud kata-kata Dexter yang belum dimengerti pemuda kapal itu.


Seakan tak percaya begitu saja, pemuda itu memandangi Dexter lagi untuk memastikan bahwa itu hanya akal-akalan untuk menakutinya.


Tidak mau berlama-lama dan dianggap berbohong, serta merta Dexter menyayatkan pisau kecilnya ke telapak tangan kiri yang segera mengeluarkan darah segar. Erik seakan tercekat melihat kenekatan Dexter tanpa bisa mencegahnya.


“Darah ini akan menularkan virus ke dalam tubuhmu!” kata Dexter gemetaran sambil mendekatkan telapak tangannya yang berdarah ke tubuh pemuda kapal.


Pemuda kapal itu sedikit banyak tahu apa itu AIDS dan bagaimana penularan bisa terjadi. Karena itu dia tidak mau gegabah mengambil resiko. Tak seorang pun mau terjangkiti virus itu, meskipun demi uang sebanyak apa pun. Sepertinya benar apa yang dikatakan anak ini, pikirnya. Semakin ngeri ketika dia menyadari banyak luka goresan berdarah di tangannya akibat kawat berduri saat mengejar dua anak itu tadi. Satu tetes saja darah orang yang kena AIDS mengenai luka itu, segera virusnya akan menular dan menyebar ke tubuhnya tanpa bisa dikeluarkan lagi. Pucat pasilah dia membayangkan resiko yang dia hadapi.


Tak mau ambil resiko yang paling mengerikan, pemuda kapal dan temannya memilih kabur meninggalkan Erik dan Dexter. Terbawa emosi dan ketegangan saat itu, Dexter dan Erik mengejar mereka seakan  ingin mengusir mereka sejauh-jauhnya.


Erik merasa lega kedua orang itu kabur dengan ketakutan. Namun bukan berarti ancaman telah selesai. Dexter yang terluka oleh sayatannya sendiri tiba-tiba terduduk lunglai. Kondisinya semakin memburuk. Erik yang hendak mendekat menolongnya dia larang karena takut darah yang masih mengalir dari tangannya bisa mengenai Erik. Akhirnya Erik melepas baju dan dia lempar ke Dexter untuk menghentikan pendarahan.


Sambil bersandar pada tas dan barang bawaan lainnya di atas bangku ruang tunggu agen bus, Dexter mencoba untuk bertahan dengan penderitaannya. Erik sungguh merasa iba dan sedih melihat Dexter yang tampak semakin menderita. Bagi seorang penderita AIDS, luka atau jenis sakit lain sekalipun kecil bisa berakibat fatal. Sesekali dia raba dahi Dexter untuk memastikan suhu badannya.


Melihat kondisi Dexter yang semakin menderita, akhirnya Erik berubah pikiran. Dia memutuskan untuk kembali ke Minnesota dan menghubungi Linda, tanpa sepengetahuan Dexter.


Sepanjang perjalanan bus yang membawa mereka, Erik membiarkan Dexter yang lemah bersandar dan tertidur di bahunya. Dia sendiri tidak bisa tidur. Perasaannya campur aduk antara sedih, kawatir, dan takut atas kemungkinan lebih buruk yang akan dialam Dexter. Dia tatap sahabatnya, dia raba dahinya…untuk memastikan kondisinya tidak lebih buruk lagi.


Linda sudah menunggu di agen bus yang membawa mereka saat bus itu tiba. Hari sudah larut malam. Dexter yang masih tertidur perlahan dibangunkan oleh Erik. Dia mengira mereka sudah tiba di New Orleans. Dan saat turun dari bus ibunya sudah menunggu dan memeluknya, dia tidak bisa lagi menahan tangis. Dia tumpahkan deritanya dalam dekapan sang ibu.



****


Dexter menjalani perawatan intensif di rumah sakit kota. Setiap hari Erik menemaninya, menghibur dan mengajak bercanda. Sesekali dia juga membawakan makanan atau mainan kesukaan Dexer. Beberapa kali mereka sempat mengerjain dokter dan perawat rumah sakit itu. Dexter pura-pura mati, dan Erik menangis mendatangi dokter. Tentu saja dokter segera mengeceknya. Pada saat itulah Dexter bangun sambil berteriak keras-keras. Bisa ditebak apa yang terjadi pada dokter dan perawat itu.



Suatu ketika, seorang dokter yang memeriksa Dexter, namanya Dr. Jensen, menyampaikan dengan lembut bahwa dia percaya adanya keajaiban. Dan itu bisa saja terjadi pada siapa saja yang mempercayainya. Dexter mengangguk mengerti.


Berbagai cara Erik lakukan untuk bisa membuat Dexter senang. Tidak peduli ketika hujan deras dan dingin dia nekat kembali memanjat pagar kebun belakang, seperti saat pertama bertemu Dexter. Dia bermaksud mengambil mainan-mainan Dexter yang banyak tertinggal di kebun. Namun rupanya semua mainan itu sudah berantakan dan kotor tercampur lumpur karena hujan deras.


Hari berikutnya, saat Dexter tampak semakin lemah, Erik bermaksud mengerjain dokter lagi seperti biasanya. Dexter hanya mengangguk pelan ketika Erik minta persetujuannya. Kali ini seorang dokter senior yang menjadi sasaran Erik. Kepada dokter itu Erik menangis karena temannya meninggal duni. Segera dokter itu mengecek Dexter yang terbaring diam di atas tempat tidur.


Erik menunggu di luar jendela dan melihat apa yang akan terjadi. Setelah dokter itu mengecek dan Dexter ternyata tidak kunjung bangun, barulah Erik menyadari apa yang telah terjadi. Dexter benar-benar sudah tiada…




Dalam perjalanan pulang Erik bersama Linda dari rumah sakit, Linda sempat menumpahkan kesedihannya dan menangis di dalam mobil. Melihat kesedihan seseorang yang sudah seperti ibunya sendiri itu, Erik pun menyampaikan permintaan maafnya.


“Aku minta maaf. Aku sudah berusaha keras…” kata Erik terbata-bata.

“Berusaha apa?” Tanya Linda.

“Untuk mendapatkan obatnya…” jawab Erik.


Seketika Linda memeluk remaja itu. Sambil mendekap Erik, dia katakana bahwa kamu adalah hal yang paling membuatnya bahagia pada saat-saat paling sulit dalam hidup Dexter. 


Tiba di halaman rumah Linda, Gail marah-marah dan kembali memukuli Erik. Dia benar-benar geram, apalagi mendapati Erik ikut dalam mobil Linda. Linda pun tidak tinggal diam. Dia minta waktu untuk bisa bicara berdua dengan Gail di dalam rumah.


Di ruangan dalam rumah, Linda sambil menangis mendorong Gail hingga ke tembok. Dia katakana soal kematian teman terbaik Erik. Dan dia ancam Gail, jika ibu itu kembali memukuli Erik dia akan bunuh Gail! Perempuan itu hanya bisa menatap nanar ke arah Linda.


***************

Erik memandangi wajah Dexter yang terbaring tenang di dalam peti mati. Dengan stelan jas hitam lengkap dengan sepatu hitam seolah bocah itu sedang tidur nyenyak. Wajahnya begitu damai, seakan sudah merasakan kedamaian sesungguhnya dan terbebas dari beban hidup di dunia. 


Sebuah sepatu miliknya, hanya sebelah, dia taruh dalam dekapan tangan Dexter. Sepatu yang sama yang dia berikan ketika Dexter mengalami mimpi buruk suatu malam di tenda tepi sungai. Di antara kesedihan atas kepergian sahabat terbaiknya, dia merasa bersyukur bahwa dia telah melakukan hal terbaik yang dia bisa meskipun hasil akhir bukan seperti yang dia harapkan.


Di tepi sungai kecil, sungai yang sama yang sering dilalui bersama Dexter, sungai yang menjadi saksi keabadian persahabatan mereka, Erik melarung sebuah sepatu hitam kecil milik Dexter, dengan harapan kedamaian mengikuti perjalanan Dexter kembali ke Sang Pencipta. Dia pandangi sepatu itu, mengikuti aliran air sungai yang mengalir, seakan dia melihat kepergian teman terbaiknya itu. Selamat jalan sahabatku…


(diceritakan kembali oleh : alden praptono )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar