(Lanjutan dari Part 2)
Anne Sulivan Macy (sumber foto: www.afb.org) |
Meskipun harapan untuk bisa kembali
sembuh sangat kecil, namun atas saran Dr. Conrad Berens mereka bertiga kembali
ke Irlandia sebagai proses pemulihan fisik Anne yang membutuhkan waktu
istirahat yang lama.
Kembali ke Irlandia, tanah kelahiran
leluhurnya, Anne merasa tersentuh secara emosional dan ada ikatan batin yang
kuat dengan budaya, sejarah maupun politik Irlandia. Karena itu ia merasa
sangat tidak nyaman berjalan-jalan dengan mobil mewah Dimler di jalanan di
antara kehidupan masyarakat yang miskin, sebagaimana ia juga pernah
mengalaminya dulu. Selama libur panjang itu ia benar-benar merasakan kehidupan
orang Irlandia yang secara umum hidupnya miskin. Terbayang bagaimana bangsa ini
banyak ditinggalkan penduduknya untuk beriimigrasi ke negara lain yang lebih
menjanjikan. Terbayang pula bagaimana kesedihan para orang tua yang harus
melepas kepergian anak atau keluarganya
yang pergi menuju tanah harapan baru di luar negeri.
Walaupun tujuan utama mereka bertiga ke
Irlandia adalah untuk pemulihan fisik Anne, namun sebagai orang yang selalu
aktif rupanya membuat mereka tidak bisa tinggal diam dengan berbagai kondisi
menyedihkan yang terjadi di tanah leluhur itu. Salah satu kegiatan yang mereka
lakukan adalah mencari dana untuk para penderita bisu tuli di Irlandia. Karena
itu mereka kerap hadir pada acara lelang binatang ternak yang hasilnya
disumbangkan untuk kegiatan menangani
masyarakat yang menderita bisu dan tuli.
Pada Oktober 1930, Temple University di
Philadelphia, Pennsylvania memutuskan untuk memberi penghargaan gelar akademik
kehormatan kepada Anne Sulivan dan Helen Keller. Tidak seperti Helen Keller
yang dengan bangga menyambut pemberian gelar kehormatan itu, Anne Sulivan sama
sekali tidak tertarik pada penganugerahan itu dan kukuh menolaknya. Atas
penolakan itu, pimpinan Temple University A. Edward Newton berusaha membujuknya
dengan mengirim surat kepada Anne. Namun tetap saja Anne yang keras kepala itu
tidak bergeming atas pendiriannya. Newton pun menegaskan bahwa mau atau tidak
mau menerima, penghargaan itu tetap akan diberikan kepadanya. Anne pun membalas
dengan menegaskan bahwa ia tidak akan datang pada acara penganugerahan itu. Di
kalangan para akademisi dan khalayak, semakin kuat ia menolak untuk hadir pada
acara itu, justeru semakin banyak perhatian tertuju kepadanya.
Acara penganugerahan itu diadakan pada
tahun 1931. Helen Keller yang hadir pada acara itu menerima anugerah gelar
akademis kehormatan yang disampaikan oleh Edward Newton. Sementara itu, hal
yang mengharukan disampaikan oleh Gubernur Pennsylvania Pinchot, yang hadir
juga sebagai penerima gelar kehormatan. Gubernur Pinchot meminta para hadirin
yang sependapat bahwa Anne Sulivan Macy layak mendapat gelar kehormatan untuk
berdiri. Saat itu seluruh hadirin yang memenuhi auditorium universitas tempat
dilangsungkannya pemberian gelar kehormatan itu berdiri semua, kecuali seoang
wanita yang tetap duduk di kursinya. Wanita itu tak lain adalah Anne Sulivan,
yang secara sembunyi-sembunyi masuk ruang auditorium dari pintu samping, tanpa
sepengetahuan Helen Keller maupun Polly.
Setelah beberapa bulan terlewati,
akhirnya pada tanggal 16 Februari 1932 Anne Sulivan memutuskan menerima
penghargaan gelar kehormatan dari Temple University. Ia mengirimkan sambutan
tertulis yang diberi judul “Education in the light of present-day knowledge and need?” ke universitas itu.
Metode pengajaran yang diterapkan Anne
pada waktu itu sulit ditemukan pada institusi pendidikan lain, maupun yang
dilakukan para guru privat. Karena sulitnya menemukan reverensi pembanding itu
maka metode Anne terutama pada cara dia mengajar Helen Keller hampir tidak
pernah mendapatkan kritikan. Namun begitu, pada tahun 1933 seorang psikolog
bernama Dr. Thomas D. Cutsforth dalam bukunya yang diterbitkan seara luas
mengkritisi tentang metode pengajaran Anne Sulivan pada Helen Keller. Ia
mempertanyakan apakah kesuksesannya mendidik Helen Keller itu memang sepenuhnya
berkat sistem pengajaran yang diterapkan Anne Sulivan Macy, atau karena Helen
sendiri mempunyai potensi diri yang sangat baik, sehingga kemudian Helen Keller
menjadi pribadi yang bisa memandang dunia secara luas meskipun matanya buta,
menjadi perempuan yang mampu menyerap banyak informasi dan pengetahuan meskipun
telinganya tuli, dan mempu menyuarakan pemikiran-pemikirannya meskipun mulutnya
bisu. Atas tulisan Cutsforth itu, baik Anne maupun Helen tidak pernah
memberikan tanggapan secara terbuka. Walaupun begitu, kelak Helen menolak dinominasikan atas penghargaan M.C. Migel pada tahun 1950.
Pada akhir 1933 kondisi penglihatan
Anne semakin memburuk. Demi untuk memulihkan daya Anne, akhirnya ketiga perempuan
itu – Anne, Helen, dan Polly – kembali ke Skotlandia. Namun, selama di
Skotlandia itu hal lebih buruk terjadi. Anne mengalami semacam gangguan pada
kulit yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan fisiknya secara umum. Dan
sekembali mereka di Amerika, Anne harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Kondisi esehatan Anne yang buruk itu menarik simpati berbagai kalangan.
Diantaranya dari Alexander Woolcott, seorang penyiar radio dan pengamat drama.
Woolcott datang menemui Anne dan membacakan buku untuknya.
Kondisi yang tak banyak berubah setelah
perawatan di rumah sakit, akhirnya Anne memilih untuk pulang ke rumahnya di
Forest Hill, New York City.
Satu hal yang menarik terjadi pada
tahun 1935. Pada waktu itu, rumah mereka di Forest Hill tidak jauh dari jalan
yang banyak dilewati truk-truk besar pengangkut material untuk proyek
pembangunan Taman Kota New York. Truk-truk itu
mengeluarkan suara yang sangat bising dan menyebabkan getaran yang cukup
mengganggu ketenangan para pemukim yang tidak jauh dari jalan tersebut. Kondisi ini sangat tidak baik untuk
proses penyembuhan kesehatan Anne Sulivan. Atas kondisi yang buruk itu, M.C.
Migel – seorang pilantropis yang sangat peduli pada
masalah-masalah kebutaan, terutama veteran Perang Dunia I yang kelak juga
menjadi tokoh penting di American Foundation for Blinds (AFB) – mengirim surat kepada Robert Moyes, Komisioner Taman Kota New York. Migel
memohon kepada komisioner agar mengalihkan rute truk-truk yang sangat
mengganggu itu. Permintaan itu dikabulkan. Dengan cepat truk-truk itu dialihkan
ke jalur lain yang lebih jauh dari Forest Hill.
Dalam biografinya yang ditulis oleh
Nela Braddy Henney, Anne mengungkapkan kegalauannya atas kondisi di usia senja
nya. Dia bertanya-tanya, adakah para orang lanjut usia itu merasakan bahagia?
Tentunya mereka menginginkannya. Namun jika mereka pernah mengingat bagaimana
mereka dulu saat muda, mereka sedih dengan kondisinya sekarang. Anne tidak suka
harus menjadi tua dan kemudian pada akhirnya mati. Baginya hanya yang muda dan
yang hidup lah yang bisa dikatakan indah. Hal yang makin terasa tidak indah
adalah karena ketiadaan keturunan yang mestinya menjadi penerus ketika hidupnya
harus berakhir.
Sesungguhnya, nyaris seluruh kehidupan Sulivan Macy yang
begitu berarti dia curahkan untuk pendidikan dan keberhasilan seorang Helen
Keller, satu-satunya siswa kesayangannya. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah, akankah Sulivan Macy mau memilih jalan hidup yang berbeda andaikan dia
punya pilihan ( karir ) lain daripada menghabiskan seluruh hidupnya pada
seorang Helen Keller? Pada tahun 1890 an, John D. Wright menyebutkan
bakat-bakat menarik lainnya Sulivan Macy antara lain pada musik dan seni pahat.
Selain itu Macy juga seorang penunggang kuda yang luar biasa, kendati ada
masalah dengan penglihatannya. Di bidang sastra, Anne Sulivan juga mempunyai
bakat yang sangat baik, terutama pada penulisan puisi. Surat-surat yang ia
tulis serta esay-esaynya menyiratkan bahwa ia sangat piawai dalam hal menulis.
Dengan begitu banyak bakat menarik yang ia miliki, sebenarnya ia mempunyai
banyak pilihan jika ia mau. Namun rupanya ia bukanlah orang yang yakin bahwa
manusia bisa memilih kehidupannya sendiri. Terlihat dari pemikiran-pemikirannya
dalam biografi yang ditulis Nela Braddy bahwa ia seorang fatalism, sekalipun
dia tidak pernah percaya agama.
Dalam biografinya ia menyebutkan :
“ jika Anda dilahirkan lagi dan mengawali hidup kembali, akankah Anda menempuh jalan hidup yang sama?” Akankah saya menjadi seorang guru? Jika aku hidup lagi untuk ke dua kalinya, saya mungkin mengambil pilihan kecil ini untuk berkarir seperti halnya yang telah saya pilih saat ini. Menurutku, bukan kita yang memilih takdir kita, tapi takdirlah yang memilih kita.
“ jika Anda dilahirkan lagi dan mengawali hidup kembali, akankah Anda menempuh jalan hidup yang sama?” Akankah saya menjadi seorang guru? Jika aku hidup lagi untuk ke dua kalinya, saya mungkin mengambil pilihan kecil ini untuk berkarir seperti halnya yang telah saya pilih saat ini. Menurutku, bukan kita yang memilih takdir kita, tapi takdirlah yang memilih kita.
Tahun 1936 kondisi kesehatan Anne makin memburuk. Bola mata
yang masih menyisakan penglihatan yang dioperasi pada April tahun itu
menyebabkan rasa nyeri, dimana kemudian dia juga didiagnosa mengalami nyeri
lambung serta kondisi lemah badan akibat usia tua. Berbagai perjalanan dia
tempuh untuk pengobatannya, diantaranya ke Kanada dan Long Island Barat, namun
tak juga bisa membantu penyembuhannya. Dan akhirnya Anne Sulivan Macy yang
tegar itu pun roboh dan kembali menjalani perawatan intensif di rumah sakit
karena mengalami pembekuan darah di dalam pembuluh darahnya.
Kesedihan Helen atas sakitnya sang guru ia ungkapkan dalam
tulisan yang ia ketik pada lembar kertas surat
dari Doctors Hospital, New York City,
tempat Sulivan Macy dirawat, pada 1936 :
“ Selama lima
puluh tahun, Anne Sulivan Macy, guru ku tercinta, telah menjadi lentera
hidupku. Saat ini beliau sedang sakit, dan kegelapan yang aku alami telah juga
menimpanya. (Namun) cahaya cintanya masih menerangi kegelapan yang menyelimuti
kami. Dan kami pun bahagia. Helen Keller “
Seperti keyakinan Anne bahwa manusia tak bisa memilih takdirnya,
akhirnya pada 20 Oktober 1936 Anne Sulivan Macy tak bisa menolak takdir bahwa
hidupnya harus berakhir. Anne Sulivan Macy, guru yang luar biasa, dengan hanya
1 orang murid yang tumbuh menjadi manusia yang menginspirasi dunia, itu telah
wafat.
Sebelum meninggal, rupanya ia telah menyusun tulisan kepada
Polly yang di situ ada kutipan pesan sebagai berikut:
“Selamat berpisah John Macy, segera kita akan bersama
lagi, selamat berpisah, aku mencintaimu.
Aku mengharapkan cinta, aku kesepian. Kemudian hadirlah
Helen dalam hidupku. Aku mengharap kasihnya, dan aku pun menyayanginya.
Kemudian datang Polly. Aku mencintai Polly, dan kita bersama amat bahagia,
Polly-ku…Helen-ku. Anak-anak sayang, kita bertemu untuk bersama dalam harmoni.
Jimmy ku, aku taruh bunga ini di wajahmu, jangan jauhkan ia
dariku. Aku mencintainya, dia segalanya dalam hidupku.
Polly akan mendampingi Helen. Mungkin kata-katanya tak akan
menjadi begitu brilian setelah bertahun berlalu seperti yang orang-orang pikir,
namun bimbingan tanganku tak akan berada di sana untuk mengatasi apa yang mesti diatasi.
Syukurlah, aku berikan hidupku yang membuat Helen bisa
hidup. Tuhan yang akan membantunya ketika aku telah pergi. “
Anne Sulivan Macy, seorang guru yang telah “membentuk” Helen
Keller telah pergi, meninggalkan sang murid dan Polly, yang kemudian
menggantikan posisinya mendampingi Helen dalam banyak hal. Kesedihan tak hanya
dirasakan Helen Keller, yang baginya Anne Sulivan Macy adalah cahaya hidupnya
yang diliputi kegelapan, maupun Polly, tetapi juga seluruh Amerika dan juga
dunia.
Jenazah Anne dikremasi dan abunya disimpan di Katedral
Nasional Washington DC. Dia lah wanita pertama yang menerima kehormatan seperti
itu, atas jasa-jasanya semasa hidupnya. Momen-momen penting dan ironis tak bisa
lepas dari kisah hidupnya, sekalipun ia telah tiada. Seorang anak perempuan
dari imigran Irlandia yang miskin, yang berjuang keras atas hidupnya untuk bisa
keluar dari dunia yang kelam dan kejam saat masa kanak-kanaknya, berjuang
membantu manusia lain yang mengalami kebutaan, hingga memperolah penghargaan
dalam skala nasional Amerika, bahkan memukau dunia.
Cerita tentang jasa dan kehidupan Sulivan Macy tak bisa hilang dari kehidupan dan kultur Amerika. Kisah tentang Anne banyak yang
diadaptasi sebagai tokoh komik, drama, dan film. Komik tentang Sulivan Macy
diterbitkan pada 1945 sebagai Wonder Woman. Sedangkan filmnya The Mirecle
Worker, yang diadaptasi dari kehidupan Helen muda ditayangkan di
bioskop-bioskop seluruh dunia.
Pada musim gugur tahun 2003, berpuluh tahun setelah
kematiannya, Anne Suliven Macy diperkenalkan kepada the National Woman’s Hall
of Fame di Seneca Falls, New York, yaitu suatu organisasi yang konsen untuk
mengabadikan perempuan-perempuan yang mempunyai kontribusi tinggi pada kemajuan
Negara. Regina Genwright – yang kemudian
menjabat sebagai direktur AFB
Information Center
– menerima penghargaan itu mewakili Ane sekaligus memberikan sambutan atas nama
mendiang Sulivan Macy.
Sepeninggal Sulivan Macy, Helen Keller tidak larut dalam
kesedihan. Bersama dengan Polly Thompson yang setia mendampinginya ia
melanjutkan aktifitasnya pada misi sosial menangani orang-orang yang mengalami
masalah dengan penglihatannya. Ia sangat peduli atas penghidupan orang-orang
penyandang buta dan tuli. Kepeduliannya terhadap mereka yang di luar negeri pun
sama seperti halnya ia peduli kepada mereka yang berada di dalam negeri
Amerika.
Pada tahun 1946 ketika American Braille Press menjadi American
Foundation for overseas Blind (sekarang Helen Keller International). Helen Keller
diangkat sebagai konselor untuk hubungan internasional. Ini menjadi awal
baginya melakukan tour keliling dunia demi orang-orang yang telah kehilangan
daya lihatnya.
Antara tahun 1946 sampai 1957, ia telah melakukan tujuh kali
tour dunia dengan mengunjungi 35 negara. Dalam tour itu ia telah bertemu
berbagai tokoh dunia seperti Winston Churchil, Jawaharlal Nehru dan Golda Meir.
Di tahun 1948 Helen Keller diutus ke Jepang oleh Jendral
Douglas Mac Arthur sebagai Duta America’s
first Goodwill. Ingat, waktu itu Amerika dan Jepang baru saja mengakhiri
permusuhan mereka dalam Perang Dunia II, yang berakhir pada tahun 1945 dengan
takhluknya Jepang kepada sekutu yang dimotori Amerika. Kunjungan Helen Keller
ini meraih sukses yang luar biasa. Tidak kurang dari 2 juta orang Jepang datang
untuk bertemu dengannya. Kehadirannya benar-benar menarik perhatian terutama bagi masyarakat Jepang yang
menderita kebutaan, maupun kekurangan fisik (cacat) lainnya.
Satu tour terpanjang yang ia lakukan adalah tour ke Asia pada tahun 1955, dimana ia menempuh jarak tidak
kurang dari 40.000 mil rute perjalanan, selama 5 bulan. Itu bukan saja tour terpanjangnya, tapi juga
terberat yang ia lakukan dengan penuh kegigihan. Namun yang selalu membuatnya
bangga adalah bahwa dimanapun ia dating, selalu mendapat sambutan yang luar
biasa dan membawa motivasi maupun inspirasi bagi kalangan orang-orang cacat
fisik, terutama yang buta dan tuli.
Karena aktifitasnya yang luar biasa bagi umat manusia yang
menderita cacat fisik itu, dan menjadi termasyur kisah hidupnya sejak usia 8
tahun hingga akhir hayatnya, Helen menjadi termsyur bersama teman dan
kenalan-kenalannya yang merupakan tokoh-tokoh ternama akhir abad 19 hingga abad
20. Mereka antara lain Eleanor Roosevelt, Will Rogers, Albert Einstein, Emma
Goldman, Eugene Debs, Charlie Chaplin, John F. Kennedy, Andrew Carnegie, Henry
Ford, Franklin D. Roosevelt, Dwight D. Eisenhower, Katharine Cornell, dan Jo
Davidson.
Helen Keller juga tercatat menerima banyak penghargaan
dunia. Antara lain gelar Doktor Kehormatan dari
Temple dan Harvard University
di dalam negeri Amerika. Di Eropa penghargaan ia terima dari Glasgow
dan Berlin University. Di India ia mendapatkan
penghargaan dari New
Dehli University.
Sementara itu Witwatesrand University di Afrika Selatan juga memberi
penghargaan serupa. Selain itu, kisah hidupnya yang menginspirasi dalam Her
Story memperoleh penghargaan kehormatan
Academy Award (piala
Oscar) pada tahun 1955
Pada tahun 1960 ia menderita stroke. Pada tahun itu pula
sahabat terbaiknya, Polly Thompson meninggal dunia. Kembali ia kehilangan
seseorang yang menjadi mata untuk melihat, mulut untuk berbicara dan telinga
untuk ia bisa mendengar. Mulai tahun 1961 dan seterusnya ia menjalani hidup yang
tenang di Arcan Ridge, rumahnya yang di Westport,
Connecticut.
Seperti kita ketahui, selama hidup Helen telah berpindah-pindah rumah utama
selama empat kali.
Terakhir kali Helen hadir pada pertemuan besar adalah pada
meeting Lions Club International Foundation, Washington D.C.
di tahun 1961. Di acara itu ia menerima penghargaan Lions Humanitaran Awards
atas pengabdian seumur hidupnya pada pelayanan kemanusiaan dan kontribusi inspiratifnya yang digunakan oleh
Lions Club International Foundation pada program-program bantuan dan perlindungan
bagi orang buta.
Helen Keller meninggal pada 1 Juni 1968 di rumahnya Arcan
Ridge, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ke 88. Abu kremasinya
disemayamkan di
Chapel St. Yoseph,
Washington Cathedral,
bersebelahan dengan abu dua karibnya yang telah lebih dahulu meninggal: Anne
Sulivan Macy dan Polly Thompson.
“Dia akan tetap hidup, satu dari sedikit nama yang abadi,
bukan lahir untuk mati. Semangatnya akan tetap bertahan selama orang bisa membaca
dan kisah-kisahnya bisa dituturkan atas seorang wanita yang telah membuka mata
dunia bahwa tak ada yang bisa membatasi keberanian dan keyakinan,” kata Senator
Lister Hill of Alabama
dalam sambutannya atas kepergian Helen Adam Keller.
Kata-kata besar yang selalu menginspirasi banyak orang
adalah yang ia tulis dalam bukunya The Open Door, 1957, yang menunjukkan
bahwa keadaannya yang buta tuli dan bisu
itu tidak sama sekali membuatnya pasrah dan kehilangan harapan atas hidupnya
yang panjang:
"I will not just live my
life. I will not just spend my life. I will invest my life."
(Akut tak ingin sekedar hidup bagi hidupku.
Aku tak ingin hanya menyelesaikan hidupku. Aku ingin mendarmakan hidupku.)
SELESAI
Ditulis kembali oleh Alden
Praptono
@Alden_Praptono
Dihimpun dari berbagai sumber.
Referensi utama: www.afb.org
Alhamdulillah, akhirnya bisa menuntaskan tulisan ini. Sebenarnya bagian terakhir tulisan ini bisa selesai akhir tahun 2013 lalu, namun karena flashdisk tempat file saya mengetik hilang di suatu tempat, bersama tulisan -tulisan lain yang sudah saya siapkan, akhirnya saya mesti menulis ulang lagi bagian ini. Agak malas awalnya. makanya tertunda sampai berbulan-bulan. Namun, belajar dari Helen Keller yang tak pernah menyerah, meskipun harus menulis ulang karyanya yang terbakar dan akhrinya menjadi buku juga, maka saya tulis kembali tulisan ini sebagai bagian terakhir dari kisah Helen Keller dan Anne Sulivan Macy dalam blog saya ini. Mohon maaf jika masih ada kekurangan di sana sini, silahkan kasih kritik, saran dan masukan . terima kasih.
BalasHapusMengharukan sekali kisahnya
BalasHapus