Minggu, 26 Mei 2013

Just Share ; DOKTER ANGKUH?

Angel for professional


"DOKTER ANGKUH ?"




Seorang dokter tampak terburu-buru dan bergegas menuju ruang operasi..

Rupanya seorang anak yang dalam kondisi kritis harus dioperasi saat itu, dan telah menunggu di ruang bedah. Ayah dari anak yg akan dioperasi menghampiri dokter itu. Dengan wajah kesal ia bertanya, "Kenapa lama sekali Anda sampai ke sini? Apa Anda tidak tahu nyawa anak saya terancam jika tidak segera dioperasi?" 

Dengan ramah dan berusaha sabar dokter itu menjawab, "Maaf, saya sedang tidak di RS tadi, tapi saya secepatnya ke sini setelah ditelepon pihak RS..."

Kemudian ia masuk ruang operasi. Setelah beberapa jam kemudian ia keluar dengan senyuman di wajahnya : "Alhamdulillah, keadaan anak Anda kini stabil..."

Tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter tersebut melanjutkan: "Suster akan membantu Anda jika ada yg ingin Anda tanyakan.." Dokter tersebut berlalu.

"Kenapa dokter itu angkuh sekali? Dia kan sepatutnya memberikan penjelasan langsung mengenai keadaan anak saya!" sang ayah berkata pada suster.

Sambil mengusap airmata yang meleleh suster menjawab :"Anak dokter tersebut meninggal dalam kecelakaan kemarin sore. Ia sedang menguburkan anaknya saat kami meneleponnya untuk melakukan operasi pada anak Anda. Sekarang anak Anda telah selamat. Namun ia harus kembali ke rumahnya segera pada istrinya....".

Nah!. JANGAN PΕRNΑН TERBURU-BURU MENILAI SESEORANG..
Tapi maklumilah tiap jiwa disekeliling kita yang menyimpan cerita kehidupan tak terbayangkan oleh kita ...

Αda air mata di balik setiap senyuman..
Αda kasih sayang di balik setiap amarah..
Αda pengorbanan di balik setiap ketidak pedulian..
Αda harapan di balik setiap kesakitan..
Αda kekecewaan di balik setiap derai tawa..

Semoga bermanfaat, agar kita menjadi manusia dengan rasa maklum yang semakin luas dan toleransi yang semakin tinggi...

INGAT, kita bukan manusia yang paling bermasalah di atas bumi ini... 


Note :
Tulisan tersebut dari milist indonesia-online. Diposting oleh Pramono Dewo. Pada beberapa bagian telah saya lakukan pengeditan.
- Alden Praptono -
@alden_praptono

Angel Wisdom (2) : MENULIS DI ATAS PASIR, MENULIS DI ATAS BATU


Ada sebuah kisah tentang sepasang suami istri yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar dan si suami menghardik istrinya dengan sangat keras. Istri yang kena hardik merasa sakit hati, tapi tanpa berkata-kata. Untuk menumpahkan kesedihannya dia menulis di atas pasir : HARI INI SUAMIKU MENYAKITI HATIKU.

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis dimana mereka memutuskan untuk mandi. Si Istri, mencoba berenang namun nyaris tenggelam dan berhasil diselamatkan suaminya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya hilang dia menulis di sebuah batu : HARI INI SUAMIKU YANG BAIK MENYELAMATKAN NYAWAKU.

Suami bertanya : "Kenapa setelah saya melukai hatimu, kamu menulisnya di atas pasir dan sekarang kamu menulis di atas batu ?"
Istrinya sambil tersenyum menjawab : "Ketika hal buruk terjadi, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan itu dan aku bisa melupakannya... Dan bila sesuatu yang baik dan luar biasa diperbuat suamiku, aku harus memahatnya di atas batu hatiku, agar tidak bisa hilang tertiup angin waktu dan akan kuingat selamanya."

Note:
Tulisan di atas kiriman seorang teman dari milist Indonesia Online, dengan sedikit editing dari saya.

- Alden Praptono -
@alden_praptono

Jumat, 24 Mei 2013

DI TANGAN ORANG YANG TEPAT, GADIS BUTA-TULI-BISU ITU MENJADI TOKOH PEMBAWA INSPIRASI DUNIA (KISAH SUKSES HELEN ADAMS KELLER & ANNE SULIVAN) - Part 2

(Lanjutan dari PART 1)


Siapakah sebenarnya Anne Sulivan, yang hadir dalam kehidupan Helen Keller dan menuntunnya keluar dari kegelapan serta menjadi malaikat penolong sepanjang hayatnya? Helen Keller sendiri mempunyai catatan kisah tentang gurunya yang kemudian ia tulis menjadi sebuah buku berjudul “Teacher” yang diterbitkan tahun 1955 sebagai bentuk kekaguman dan penghormatan kepada guru yang bukan semata guru baca dan tulis tapi lebih dari itu sebagai guru hidupnya sekaligus malaikat pembawa cahaya dalam kehidupannya.

Anne Sulivan Macy lahir di Feeding Hills, Massachussets pada 14 April 1866. Ia merupakan sulung dari lima bersaudara, dari keluarga imigran asal Irlandia yang miskin, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki keahlian apa-apa. Dari lima bersaudara itu yang hidup hingga dewasa hanya dua orang, yang lainnya mati muda karena deraan berbagai macam penyakit, kurang gizi dan sebagainya, problem yang banyak diderita kaum papa. Ayah Anne, Thomas Sulivan, seorang alkoholik. Ibunya, Alice Chloesy Sulivan meninggal saat Anne berumur 9 tahun karena Tubercolusis (TBC).

Sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat kekurangan. Karena itu berbagai macam penyakit banyak menjangkiti keluarganya. Pada umur 7 tahun Anne terkena trachome, suatu bakteri yang menginfeksi mata, yang pada waktu itu banyak menjangkiti kalangan miskin. Karena kemiskinannya itu penyakit matanya tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan yang layak dan mengancam penglihatan Anne kecil menjadi gadis buta. Untunglah saat usia 15 tahun dia bisa melakukan operasi mata sehingga - meskipun tidak secara sempurna – penglihatannya bisa berfungsi lagi.

Kehidupan keluarga Anne semakin memburuk sepeninggal ibunya pada Januari 1874, terutama dalam hal ekonomi. Dan masa kanak-kanaknya hilang ketika ia dan seorang adiknya, Jimmie, kemudian dikirim Tewksbury Almhouse pada 22 Februari 1876. Sedangkan saudara lainnya lagi yang bernama Mary dikirim ke tempat bibinya. Tewksbury Almhouse adalah sebuah institusi yang menampung orang-orang miskin dan gelandangan di negara bagian Massachussets. Pada saat itu penampungan tersebut banyak dijejali para pemabuk yang sering diberi label “pauper insane”. Kebanyakan penghuninya adalah imigran asal Eropa penganut Katholik Irlandia. Tidak ada penjelasan resmi kenapa Anne dan Jimmie dikirim ke Tewksbury sementara Mary hanya ditempatkan bersama bibinya. Kabar yang terdengar sementara itu adalah karena Anne terlalu bengal dan sulit dibina dalam keluarga. Sebaliknya Jimmie lebih dikarenakan sering sakit-sakitan.

Rumor yang beredar di kalangan masyarakat saat itu bahwa penampungan tempat Anne Sulivan dan adik lelakinya ditampung itu merupakan institusi yang sangat tidak ramah, kejam, banyak praktek bejat seperti seks bebas, penyimpangan seksual, bahkan kanibalisme. Atas rumor yang berkembang itu, pemerintah setempat kemudian mengadakan investigasi yang dikepalai oleh Samuel Gridley Howe, pendiri Perkins School for the Blind di Boston, Massachusetts.

Tiga bulan sejak Anne dan Jimmie masuk di Almhouse, terjadilah hal yang sangat menyedihkan Anne. Karena kondisi Jimmie yang sakit-sakitan itu semakin memburuk sejak masuk Almhouse, akhirnya bocah lelaki itu meninggal dunia di penampungan itu. Tentu itu satu pukulan tersendiri bagi Anne karena sebelumnya dia telah berjuang keras agar dirinya dan Jimmie bisa tetap bersama dalam penampungan itu, tidak dipisahkan seperti yang sempat terjadi pada awalnya. Namun bagi Anne yang masih berusia 10 tahunan dan dalam lingkungan yang sangat tidak manusiawi itu tiadalah daya untuk bisa menjaga dan merawat adik lelakinya tersebut. Hingga akhirnya ajal pun menjemput Jimmie.

Pada saat adiknya meninggal itu, ada seorang perempuan yang sangat religius tetapi lumpuh bernama Maggie Carrol – yang telah berteman dengan Anne – menasehati Anne agar tabah dan menguatkan diri untuk tetap hidup di institusi penampungan itu, karena ini sudah takdir Tuhan, katanya. Namun Anne tidak mau yang seperti ini akan menjadi masa depan hidupnya. Dia juga tidak mau bergabung dengan ritual-ritual Katholik, seperti ritual pengakuan dosa. Gadis muda itu pun tumbuh secara skeptis terhadap agama. Namun, pada saat yang sama juga terjadi desakan yang kuat dalam dirinya untuk kembali menempatkan diri secara benar pada warisan adat Katholik Irlandia.

Anne Sulivan yang mengalami masalah dengan matanya sempat menjalani berkali-kali operasi mata selama hidupnya. Saat di Almhouse itu sendiri ia menjalani dua kali operasi namun tidak ada hasilnya. Pada Februari 1877 Sulivan dikirim ke Soeurs de la Charite hospital di Lowell, Massachusetts untuk kembali menjalani operasi mata, namun kembali operasi ini hanya menambah deret kegagalan untuk kembali menormalkan matanya. Di rumah sakit itu ia tinggal hingga Juli 1877. Selama itu dia ikut membantu para biarawati Katholik yang memang ditugaskan dan menempati satu ruangan khusus di rumah sakit itu sebagai bagian dari pelayanan terhadap komunitas agama Katholik. Pada Juli 1877 dia dikirim ke kota untuk melakukan lagi operasi matanya, dan kembali operasi ini tidak membawa hasil apa-apa.

Setelah sekitar enam bulan Sulivan sempat lepas dari Tewksbury Almhouse dia kemudian dikembalikan lagi ke penampungan bengis itu. Dia berusaha berontak untuk tidak dikembalikan ke sana dengan cara berteriak-teriak dan menendang-nendang. Dan sekembalinya lagi di penampungan yang didominasi orang-orang sakit dan gelandangan itu ia ditempatkan bersama beberapa ibu-ibu single dan ada seorang perempuan hamil tanpa suami. Sekarang ia semakin menyadari betapa horornya Almhouse.

Mungkin sudah ditakdirkan kalau kemudian Sulivan bisa keluar dari tempat penampungan yang muram dan penuh bayang-bayang kematian itu. Mendengar bahwa di Massachussetts ada sekolah yang khusus untuk orang buta, dan mengetahui bahwa investigasi di Tewksbury Almhouse sedang dilakukan menguatkan tekadnya untuk bisa keluar dari tempat itu. Suatu ketika di tahun 1880, seorang pegawai dari Badan Amal Negara Bagian Massachussetts bernama Frank B. Sanborn melakukan inspeksi di institusi itu. Sulivan pun berusaha menemuinya dan dengan menghiba dia katakan,” Mr. Sanborn, Mr. Sanborn, saya ingin sekolah!”

Hibaan Anne Sulivan rupanya membawa hasil. Segera setelah ia menghiba kepada pegawai negara itu ia dikirim ke sebuah sekolah untuk orang buta bernama Perkins School for the Blind. Beberapa wanita penghuni penampungan itu turut bersuka cita atas apa yang diterima Anne. Mereka mendandani gadis muda itu, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih baik untuk perjalanannya ke tempat yang baru. Dan pada 7 Oktober 1880 Sulivan tiba di Perkins dengan kereta api.

Di tempat yang baru, Perkins School for the Blind, Sulivan mendapati keadaan yang jauh berbeda dengan di Tewksbury. Perkins merupakan kota yang lengang dan ramah, sedangkan Tewksbury merupakan lingkungan yang kasar, ramai dan sibuk. Golongan pekerja di kota itu kebanyakan dari kalangan Katholik Irlandia, dan senang mengekspresikan emosinya dengan berteriak-teriak di tempat umum. Sebaliknya Perkins relatif tenang dan anggun, merefleksikan kemakmuran penduduknya dan mencirikan type komunias Protestan. Hal-hal yang tidak mengenakkan tidak dibahas di Perkins, sedangkan Tewksbury melukiskan kehidupan dunia dengan senyata-nyatanya, penuh dengan warna-warna yang liar dan bengis.

Di buku yang ditulis oleh Nella Braddy Henney berjudul Anne Sulivan Macy, Anne mengungkapkan perasaannya telah lepas dari Almhouse:
“ Bertahun-tahun di Tewksbury telah membuka pintu dan jendela mental, menarik tabir, dan menampakkan kekelaman-kekelaman yang dialami manusia yang menutup jalan akan hadirnya lingkungan anak yang menyenangkan. Semua pengalamanku telah merenggut kehidupan normalku.”

Di Perkins School dia sangat termotivasi ketika ada seorang gadis yang mentertawainya gara-gara ia tidak mampu mengeja sebuah kata yang terbilang sederhana. Dia benar-benar tercambuk untuk sukses oleh kejadian itu dan menjadi murid yang sangat tekun. Di situ ia menjadi gemar membaca dan menyukai puisi.

Setelah setahun di Perkins, Anne dikirim ke Rumah Sakit Mata Dan Telinga Massachussetts untuk menjalani serangkaian operasi. Pada 1882 kembali dilakukan operasi untuk yang ke dua kalinya, dan kali ini membawa hasil yang menggembirakan. Penglihaan Sulivan kembali berfungsi setelah hampir sepuluh tahun mengalami kebutaan.

Salah satu keahlian penting Anne yang diperoleh di Perkins School adalah aksara tangan yang diperuntukkan bagi orang tuli. Masing-masing huruf dari aksara tersebut ditampilkan dengan kode tangan yang berbeda. Untuk orang yang buta-tuli huruf-huruf itu dirabakan pada telapak tangan. Si buta-tuli merasakan gerakan jari-jari tangan, yang dirabakan pada tangan yang merupakan indra pendengarannya. Kemampuannya dalam menyampaikan kode-kode melalui telapak tangan inilah yang kelak akan menjadi kunci suksesnya berkomunikasi dengan Helen Keller. Dan berkat usaha kerasnya selama belajar di sekolah itu, kemudian ia terpilih untuk mewakili kelasnya berpidato perpisahan pada 1886, yang menandai berakhirnya pendidikan Anne Sulivan Macy di Perkins School for the Blind.

Tidak lama setelah kelulusannya dari Perkins School, tepatnya pada Agustus 1886, Mechael Anagnos sang Direktur sekolah itu memanggil Anne si murid favoritnya. Anagnos membaritahukan Anne bahwa ada satu keluarga di Tsucumbia, Alabama, yang membutuhkan seorang guru bagi putrinya yang buta tuli karena suatu penyakit ganas yang menyerangnya ketika ia 19 bulan. Sejak itu si anak tumbuh menjadi anak yang liar, bengal dan sulit dikendalikan. Kedua orang tuanya, Kate dan Arthur Keller, telah melakukan konsultasi dengan seorang pendidik yang juga penemu ternama Dr. Alexander Graham Bell di Washington. Dan Dr. Bell memberi rekomendasi kepada keluarga itu untuk datang ke Perkins School for the Blind.

Dan, seperti yang sudah diceritakan pada bagian pertama, akhirnya Anne Sulivan Macy menerima tawaran itu dan pada 3 Maret 1887 ia datang di Alabama pada keluarga Helen Keller untuk kemudian menjadi penuntun hidup dan cahaya bagi seorang Helen Adam Keller, si buta tuli bisu yang mencengangkan dunia.

Dalam kehidupan Anne Sulivan, Dr. Alexander Graham Bell, pendidik dan penemu besar yang terkenal dengan penemuannya atas pesawat telepon, mempunyai peran yang sangat kuat. Dr. Bell menjadi guru dan motivator yang menguatkan Sulivan pada masa-masa sulit yang ia hadapi, terutama pada awal-awal ia mengajar Helen Keller. Ia selalu memberi support dan banyak membantu Sulivan menjalin hubungan dengan banyak pihak.

Selain Dr. Bell, ada seorang lagi yang sering menjadi curahan hati Sulivan, yaitu seorang yang kaya dari New Englander bernama Sophia Hopkins yang sudah menaruh perhatian pada Anne sejak di Perkins School. Kepadanyalah Anne melakukan korespondensi dan menceritakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada saat awal mengajar Helen serta perkembangannya kemudian dari waktu ke waktu, dan itu menjadi dokumentasi penting kelak bagi penulisan kembali kisah suksesnya bekerja pada keluarga Helen Keller ini, termasuk juga menjadi sumber informasi tentang kehidupan sang murid yang luar biasa.

Salah satu suratnya kepada Hopkins tetanggal 5 April 1887, hanya satu bulan sejak Sulivan mulai mengajar, yang menceritakan kemajuan luar biasa pada Keller :

“ Saya harus menulis surat kepada Anda pagi ini karena satu hal yang sangat penting telah terjadi. Helen telah mengalami kemajuan luar biasa dalam pendidikannya. Dia sudah bisa belajar bahwa segala sesuatu mempunyai nama, dan bahwa aksara tangan menjadi kunci segala pengetahuan yang ia ingin sekali ketahui..... “


Pada tahun 1904 Helen dan Anne pindah ke Wrentham, Massachussets. Mereka telah membeli areal pertanian dan tujuh acre tanah di sana. Di rumah yang terletak pada areal pertanian itu mereka tinggal. Selain Helen dan Anne, ada satu orang lagi yang tinggal bersama mereka: John Albert Macy. Kehadiran John, yang sebelas tahun lebih muda dari Anne dan hampir seumuran Helen, ini menambah kebahagiaan Anne dan Helen, sebagaimana diceritakan Helen Keller pada biografinya Teacher : Anne Sulivan Macy bahwa saat-saat itu merupakan salah satu bagian terindah dalam hidup mereka.

John Albert Macy adalah seorang guru di Harvard dan kritikus sastra pada majalah A Youth’s Companion. Ia bertemu Anne dan Helen pada saat mereka kuliah di Redcliffe College. Ia lah yang telah banyak membantu proses editing dan penerbitan versi serial autobiografi Helen The Story of My Life. John Macy yang kemudian menikah dengan Anne Sulivan pada 3 Mei 1905 menjadi editor sekaligus manajer Helen. Dia juga melakukan negosiasi atas penerbitan karya-karya Helen berikutnya, baik untuk dalam negeri maupun luar negeri. Demi memperlancar komunikasi langsung dengan Helen, ia bahkan mempelajari juga aksara tangan sehingga ia bisa merasakan sendiri tekanan-tekanan emosi dan perasaan Helen selaku penulis, terutama yang berkaitan dengan kisah hidupnya sendiri.

Meskipun Helen dan Anne tinggal satu rumah, dan bahkan seolah tak pernah terpisahkan satu sama lain, namun dalam hal politik dan agama mereka mempunyai pandangan dan pilihan yang berbeda. Dalam hal politik, Helen sangat banyak terpengaruh jalur politik John Macy yang seorang sosialist. Dan pada 1909 Helen ikut bergabung pada partai sosialist. Sementara Anne kurang berminat politik praktis yang memproduksi banyak aturan. Ia cenderung tertarik pada kebebasan berpikir dan menentang kekangan-kekangan yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal agama Helen juga cenderung seorang religius, sedangkan Anne tidak bisa yakin pada agama. Seperti yang sudah sering Anne lakukan sejak di sekolah Perkins ia menolak untuk mengikuti aktifitas gereja. Anne juga melihat Bible sebagai karya syair yang indah saja yang terinspirasi oleh Tuhan, bukan sebagai wahyu. Bagi Anne, masa yang akan datang (setelah kematian) adalah sesuatu yang gelap dan tidak bisa diprediksi dari sekarang. Atas perbedaan yang tajam pada masalah politik dan agama itu, baik Anne maupun Helen sama-sama bisa menghormati satu sama lain dan tidak mau mengintervensi. Itulah sebabnya mereka tetap bisa kompak bersama meskipun ada hal-hal prinsip yang bertolak belakang dalam sikap dan filosofi hidup mereka.

Peran Anne dalam bidang pendidikan segera dikenal luas dan menjadikannya sebagai salah satu wanita penting Amerika. Pada 1915 ia mendapat penghargaan Medali Guru dari Panama Pacific Internatioanl Exposition di San Fransisco. Seorang pendidik ternama waktu itu, Dr Maria Montessori, juga memberi gelar “pioneer” pada Anne Sulivan.

Pada 1914 John Macy meninggalkan Anne dan pergi ke Eropa. Meskipun alasannya tidak disampaikan secara jelas, namun banyak dugaan bahwa masalah finansial yang menjadi dasar persoalan. Selain itu, sebagai seorang suami John merasa diacuhkan Anne yang cenderung lebih mencurahkan perhatian dan pelayanannya kepada Helen. Kesedihan Anne atas kehancuran rumah tangganya dengan John yang sangat ia cintai itu tidak luput dari catatan Helen dan diceritakan dalam bukunya Teacher.

Sepeninggal John, bergabunglah seorang perempuan muda Skotlandia, Polly Thomson, sebagai sekretaris Helen. Dalam banyak hal kehadiran Polly ini sangat membantu, baik pada hal-hal teknis penulisan dan penerbitan, maupun pada saat melakukan lawatan ke berbagai negara.

Demi melupakan kenangan menyakitkan atas perkawinan Anne dan John yang berantakan dan masa bahagia selama beberapa tahun sebelumnya, Helen dan Anne menjual rumah dan tanah di Wrentam. Mereka kemudian membeli rumah di Fourest Hill, New York. Polly pun tetap setia menyertai mereka seakan telah menjadi bagian dari keluarga, meskipun dalam hal finansial tidak ikut berurusan.

9 April 1917 Amerika mengumumkan perang terhadap Jerman. Pada saat itu dengan disertai Polly dan Anne, Helen yang dikirim untuk mengkampanyekan anti perang dan mengunjungi pelayanan untuk orang buta. Mereka juga mengunjungi Evergreen, sebuah institut milik Palang Merah yang diperuntukkan bagi tentara yang mengalami kebutaan di Baltimore, Maryland.

Kehidupan Helen dan Anne yang luar biasa itu menarik minat Hollywood untuk memfilmkan kisah mereka. Pada Februari 1918 Helen, Anne dan Polly diundang ke Hollywood untuk pembuatan Deliverance, yang menggambarkan tentang kebutaan dan kebisuan fisik, dan kebutaan secara politis dan spiritual. Sayangnya film itu secara finansial tidak sukses, meskipun telah diulas bagus oleh pers. Film tersebut dianggap terlalu banyak pesan moral tapi kurang dalam hal romantisme. Akibatnya, ketiga wanita itu kehabisan uang karena honor dari film yang gagal itu tidak mencukupi biaya hidup mereka di Hollywood. Apalagi untuk biaya pulang ke New York selama pembuatan film itu mereka terpaksa berhutang.

Selain film Deliverance, pada waktu yang hampir bersamaan, mereka juga terlibat pada pembuatan film pendek bersama Charlie Chaplin berjudul  A Dog’s Life dan Man-At-Arms. Terhadap Chaplin, Helen mempunyai kesan yang berbeda dibanding orang-orang yang ia temui di Hollywood. Kebanyakan orang di Hollywood hanya memberi perhatian kepadanya, dan mengacuhkan Anne. Sedangkan Chaplin yang mengundang mereka untuk dinner sangat memperhatikan Anne dan tertarik mendengarkan kisah hidup dan kegagalan rumah tangganya.

Kegagalan secara finansial pada proyek film Deliverance membawa mereka untuk tinggal di Pantai Timur, di mana mereka akan mencari alternatif pekerjaan lain. Keberhasilan serangkaian pekerjaan mengajar pada tujuh tahun sebelumnya mendorong mereka untuk mendapatkan job yang sama. Dalam skala kecil mereka sempat berhasil mendapatkan pekerjaan itu, namun belum cukup untuk menutup kebangkrutan keuangan mereka.

Pada tahun 1924, Anne, Helen, dan Polly mendapat kesempatan bekerja pada American Foundation for the Blind (AFB), sebuah yayasan yang berdiri tiga tahun sebelumnya dengan misi membantu orang-orang buta atau yang mengalami masalah pada penglihatannya. Mereka ditugaskan sebagai duta untuk menarik minat khalayak dan mencari dana serta memberikan advokasi kepada penyandang buta.

Meskipun secara target pencapaian dana kurang sukses, namun sebagai hubungan masyarakat sangat sukses. Mereka berhasil membawa isu tentang kebutaan dan memberikan kesadaran pada tidak saja orang Amerika tetapi juga luar negeri, melebihi pencapaian yang pernah ada sebelumnya. Karena kiprahnya yang malang melintang di berbagai negara mengemban misi yang diberikan, ketiganya digelari “The Three Musketeers” oleh pimpinan yayasan.
(  Bersambung ke Part 3)

By Alden Praptono
@alden_praptono
Sumber utama materi dan gambar : www.afb.org

Minggu, 19 Mei 2013

Keping Kejujuran 2 - TELADAN DARI BOCAH ASONGAN DI PINGGIR JALAN

Note : Cerita ini saya copy dari forum.kompas.com yang diposting hampir 2 tahun yang lalu. Sebagian Anda mungkin sudah membacanya baik dari sumber yang sama atau sumber lain. Sebagian lagi mungkin belum pernah. Karena itu cerita ini saya posting di sini agar bisa dibaca lagi, untuk bisa kita teladani lagi. Tidak ada penjelasan pasti apakah ini cerita nyata atau fiktif belaka. Namun, lepas apakah itu nyata atau fiktif, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya membuat kita kembali bertanya akan nilai diri kita sendiri. Jika kita bisa berbohing kepada orang lain, maka kita tidak akan bisa bohong kepada diri kita sendiri, terlebih lagi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah membacar cerita ini, marilah dengan jujur kepada diri kita sendiri kita nilai seberapa berharga diri ini dalam pandangan kita sendiri, dan kira-kira dalam pandangan Tuhan juga...??

(Alden Praptono)

Kisah Kejujuran Dua Bocah Penjual Tisu di Pinggir Jalan

dari : forum.kompas.com


Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.


Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.


“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.


“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.


“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.


Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”


Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar.”

“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.


Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.


Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.


Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.


Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.
(forum.kompas.com)

Kamis, 16 Mei 2013

SONGS FOR ANGEL 3 - EVERYTHING I DO, I DO IT FOR YOU

Lagu ini dirilis tahun 1991 sebagai original sound track film Robbin Hood - Princh of Thieves, sebuah legenda populer rakyat Inggris. Lagunya sendiri diciptakan dan diaransemen, serta di vokal kan oleh Bryan Adams, seorang penyanyi asal Kanada. Liriknya disusun bersama denga Michael Kamen dan Robert John "Mutt" Lange. Selain sebagai ost Robbin Hood, lagu ini masuk dalam album Bryan "Waking up the Neighbour". Sempat menduduki tangga atas dari beberapa hit board selama beberapa minggu, terutama di Inggris.

Bryan, Kamen dan Lange juga memenangkan  Grammy Award for Best Song Written Specifically for a Motion Picture or Television pada ajang Grammy Awards 1992. Selain itu juga masuk nominasi pada Academy Awards untuk katagori lagu terbaik.

Lirik lagu ini sangat explisit dipersembahkan kepada seseorang yang begitu dicintai (oleh penciptanya) sehingga dia meyakinkan bahwa tak ada cinta seindah dan sekuat cinta mu, dan dia lakukan segalanya untukmu. Sungguh sangat romantis, bukan hanya kata-katanya, tetapi suara emas Bryan juga sangat mewakili romantisme yang ada dan spirit untuk "berani mati" demi untuk mu.

Terjemahan lagu ini saya ambil dari http://terjemah-lirik-lagu-barat.blogspot.com.
Yeah, karena kebetulan sudah ada yang menerjemahkannya, jadi tidak perlu repot-repot menerjemahkan lagi. Yang penting isi terjemahannya tidak jauh beda andaikan saya sendiri menerjemahkannya.

(Alden praptono)




 
EVERYTHING I DO, I DO IT FOR YOU 
(OST Robbin Hood Prince of  Thieves)
Bryan Adams



Look into my eyes, you will see
What you mean to me
Search your heart, search your soul
And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do, I do it for you

Look into your heart, you will find
There's nothin' there to hide
Take me as I am, take my life
I would give it all, I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for
I can't help it, there's nothin' I want more
You know it's true
Everything I do, I do it for you
Oh yeah

There's no love, like your love
And no other, could give more love
There's nowhere, unless you're there
All the time, all the way, yeah

Look into your heart, baby

Oh, you can't tell me it's not worth tryin' for
I can't help it, there's nothin' I want more
Yeah, I would fight for you, I'd lie for you
Walk the wire for you, yeah I'd die for you

You know it's true
Everything I do, oh, I do it for you

Everything I do, darling
And we'll see it through
Oh we'll see it through
Oh yeah

Yeah!

Look into your heart
You can't tell me it ain't worth dying for
Oh yeah

I'll be there, yeah
I'll walk the wire
Oh, yeah


SEGALANYA KULAKUKAN UNTUKMU


Tataplah mataku - kau kan melihat
Arti dirimu bagiku
Carilah di hatimu - carilah di jiwamu
Dan saat kau temukan aku di situ kau tak perlu lagi mencari

Jangan katakan itu tak layak dicoba
Jangan katakan itu tak layak diperjuangkan sampai mati
Kau tahu benar adanya
Segala yang kulakukan - kulakukan untukmu

Lihatlah hatiku - kau kan temukan
Tak ada yang tersembunyi
Terima aku apa adanya - terima hidupku
Kan kuberikan semua - aku kan berkorban

Jangan katakan itu tak layak diperjuangkan
Aku tak bisa menahannya - tak ada lagi yang kumau
Kau tahu benar adanya
Segala yang kulakukan - kulakukan untukmu

Tak ada cinta - seperti cintamu
Dan tak ada orang lain - bisa memberi lebih banyak cinta
Tak ada tempat - tanpa ada dirimu
Tiap saat - tiap langkah

Oh - jangan katakan itu tak layak dicoba
Aku tak bisa menahannya - tak ada lagi yang kumau
Aku kan berjuang untukmu - aku kan berdusta untukmu
Kan kulakukan segalanya untukmu - ya aku rela mati untukmu

Kau tahu benar adanya
Segala yang kulakukan - kulakukan untukmu

(http://terjemah-lirik-lagu-barat.blogspot.com)
 


Bryan Adams