(Catatan: Tulisan ini saya buat sekitar tahun 2008, sebelum Film Hachiko yang dibintangi Horison Ford dirilis. Tulisan ini juga pernah saya posting di beberapa forum dan milist, dan kemudian sempat menyebar di beberapa blog lain. Waktu itu saya belum membuat blog sendiri. Sekarang di blog saya ini saya posting kembali. Jadi jika sebagian Anda sudah ada yang pernah membaca persis dengan tulisan ini, mungkin itu copy dari postingan lama saya.)
Di Kota Shibuya, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta
Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan
ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando
Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.
Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Kota Shibuya. Namanya
Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya,
Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi
Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di
universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia
menemani Profesor sampai stasiun. Di setasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia
menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali. Dan
ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu
mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari
yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara
yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke
luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia
seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin
tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia
mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak
membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko,
tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani
tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor
Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat
tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk
naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang
seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah
menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera
berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun
pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko.
Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan
berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang
sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko
memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta,
seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”
“ Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit
panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit
panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya
dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun
berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di
dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas
menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di
kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat
dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang
lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus.
Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena
Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno
menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan
menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor
Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang
ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka,
bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap
bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya
Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon
Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun
merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba
menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ.
Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu.
Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang. Mungkin
ini Profesor Ueno datang, pikirnya. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena
Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian,
dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap
menunggu dan menunggu di stasiun itu. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa
Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah
dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah
kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing
itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu
tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali.
Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu
tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin
melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya
ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk
di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan
kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut
agar tidak kedinginan.
Suatu pagi di tahun 1935, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor
kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu
menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang
tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada
sang tuannya pun terbawa sampai mati setelah 10 tahun selalu menunggu dan menunggu setiap hari!
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya.
Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin
menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati symbol sebuah kesetiaan yang
kadang justru langka terjadi pada manusia.
Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat
sebuah patung perunggu di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung
itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di
sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiku saat
mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiku pun
dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
(diolah
dari berbagai sumber)